Solidaritas dan Hukum

Saturday, September 19, 2015

Solidaritas dan Hukum



SOLIDARITAS DAN HUKUM

oleh Nur Habib Fauzi

 

Kali ini saya ingin membahas materi tentang hubungan dari pada solidaritas di dalam masyarakat dengan hukum yang berlaku atau hukum positif. Manusia adalah mahkluk sosial, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Maka terjadilah interaksi antar manusia dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Setiap manusi memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda-beda, mereka juga mempunyai hak yang harus terpenuhi dan kewajiban yang harus mereka jalankan. Manusia berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu aturan hidup bersama sesuai dengan prinsip moral tersebut.

Hukum adalah sekumpulan aturan-aturan yang mengikat dan memiliki konsekuensi sanksi bagi pelanggarnya, dibuat oleh suatu badan atau lembaga yang memiliki kekuasaan. Hukum merupakan suatu aturan yang berkemabang di dalam masyarakat dan harus ditaati. Untuk melihat hubungan antara masyarakat dengan hukum, ada 3 cara yaitu:

1.      Cara pandang Normatif (Das Sollen), dimana dalam menyikapi setiap permasalahan di masyarakat diselesaikan berdasarkan apa yang sudah ada dalam undang-undang (hukum positif).

2.      Cara pandang Filosofis (Law in Idea), dimana kita harus melihat atau mencari alasan-alasan mendasar (hakikat) dari pada mengapa permasalahan itu terjadi dan mengapa hukum itu dibuat.

3.      Cara pandang Sosiologis (Law in Action), dimana kita memperhatikan kebiasaan-kebiasaan atau adat yang ada di masyarakat dalam menyikapi dan menangani setiap permasalahan yang terjadi.

 

Seorang ilmuan sosiolog dari Perancis, Emile Durkheim (1858-1917 M) mengatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan dari solidaritas sosial masyarakat”. Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung dari sifat pelanggarnya, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dia juga merumuskan ada dua macam golongan masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan. Pertama adalah Masyaraka Mekanis, masyarakat seperti ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang bersifat homogen. Maksudnya pada satu kelompok masyarakat cenderung memiliki kesamaan dalam suatu bidang kebiasaan. Misalnya memiliki pekerjaan yang sama, pola hidup yang sama, dan kebiasaan-kebiasaan yang sama atau adanya hubungan yang erat dalam satu kesatuan masyarakat. Masyarakat mekanis juga dapat ditemukan dalam suatu masyaraat yang berbentuk paguyuban. Maksudnya adalah suatu bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Masyarakat mekanis biasanya berlaku represif dalam menyikapi masalah-masalah yang ada di lingkungan mereka. Mereka cenderung melakukan suatu tindakan yang anarkis (kekerasan), dan dalam golongan ini lebih sering terjadi perilaku main hakim sendiri.

Kedua, Masyarakat Organis. Masyarakat seperti ini dapat ditemukan pada bentuk patembayan atau perkotaan, dimana anggota masyarakatnya tidak memiliki hubungan batin yang begitu kuat, dan kadang mereka saling bersikap acuh-tak acuh terhadap anggota masyarakat yang lain. Masyarakat seperti ini juga bersifat heterogen dimana anggota masyarakatnya memiliki berbagai kebiasaan yang bermacam-macam. Seperti pekerjaan yang berbeda-beda, pola hidup yang beraneka ragam, dan bahkan dalam satu kesatuan masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur politik sehingga interaksi antara masing-masing anggota masyarakat sangatlah kurang. Akan tetapi mereka juga masih memiliki perasaan iba atau kepedualian terhadap anggota yang lain. Masyarakat organis cenderung bersikap prestitutif dalam menyikapi suatu permaslahan di lingkungan mereka dan perilaku main hakim sendiri sangat jarang ditemukan.

Berikut tabel pemisahan golongan masyarakat menurut Emile Durkheim:

Golongan Masyarakat
Bentuk masyarakat
Kebiasaan/Ciri
Perilaku
Mekanis
Paguyuban
Homogen
Represif
Organis
Patembayaan
Heterogen
Prestitutif

 

Pendapat dari Emile Durkhein ini, bisa kita analisa apakah benar bahwa solidaritas bisa mempengaruhi masyarakat dalam menyikapi atau menentukan hukum pada permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka. Kita bisa melihat contoh kasus dibawah ini:

Pada hari Senin 25 Mei 2015 lalu, sekitar pukul 23.00 WIB terjadi kecelakaan di perempatan desa kedunglurah. Bus harapan Jaya menerobos lampu merah dan menabrak pengendara sepeda motor yang berboncengan. satu dari dua pengendara tersebut meninggal di tempat, dan satunya meninggal dunia setelah dilarikan kerumah sakit.

Berdasarkan keterangan yang diberikan para saksi, kronologinya dimulai dari bus Harapan Jaya yang datang dari arah timur berebut penumpang dengan bus Pelita Indah. Ketika sampai di perempatan kedunglurah bus Harapan Jaya menerobos lampu merah. Dari arah yang berseberangan, ada enam pengendara sepeda motor yang menyeberang dari arah uatara menujuju selatan. Ketika lima pengendara sudah melewati perempatan, satu pengendara yang berboncengan masih berada di pertengahan perempatan dan langsung disantap bus Harapan Jaya dari arah timur. Dua pengendara tersebut terpental kesebelah utara dan kesebelah barat, sedang sepeda motornya terseret dibawah bus bagian depan kurang lebih sejauh 20 meter dan berhenti didepan pasar kedunglurah. Diikuti dari belakang bus Pelita Indah dari arah yang sama dengan Bus Harapan Jaya. Situasi langsung pecah, seluruh penumpang keluar untuk melihat dan sebagian pindah ke bus Pelita Indah untuk melanjutkan perjalanan. Disaat yang bersamaan para warga berdatangan dan mengamuk, mereka melempari bus dengan batu. Tidak sedikit warga lain yang juga terluka karena lemparan batu itu. Sopir dikabarkan melarikan diri ke arah selatan dan menyerahkan diri ke kantor polisi. Seluruh warga bertambah emosinya ketika sopir menghilang dari TKP. Para warga yang tidak hanya dari desa kedunglurah mulai berdatangan. Mereka semua mengamuk melihat kejadian itu. Seluruh warga berusaha menggulingkan bus. Tidak lama kemudian anggota kepolisian datang, dan kericuhan mulai reda.

 

Dari kasus di atas, dapat kita analisa, bahwa masyarakat yang mengamuk dikarenakan melihat anggota masyarakatnya meninggal dunia disebabkan sopir bus yang ugal-ugalan. Mereka bersifat represif karena ingin menuntut sang sopir untuk diadili ditempat kejadian. Warga merasa sakit ketika melihat ada warganya yang meninggal akibat kecalakaan itu dan berusaha merusak bus yang digunakan untuk menabrak warganya.

Disini sudah jelas bahwa masyarakat kedunglurah dan sekitarnya memiliki ikatan yang kuat atau solidaritas yang besar. Bahwa maysarakat kedunglurah termasuk masyarakat mekanis seperti yang dijelaskan oleh Emile Durkheim.

Sebenarnya jika kita melihat perilaku warga kedunglurah dalam menyikapi kecelakaan dalam kasus diatas juga tidak dibenarkan di dalam undang-undang. Dengan menggunakan cara pandang Normatif dalam menyikapi kasus diatas, seharusnya warga tidak melakukan tindakan yang anarkis. Akan tetapi mereka semestinya segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian untuk melakukan suatu tindakan-tindakan sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam undang-undang. Kerugian-kerugian yang timbul akibat perilaku anarkis itu menyebabkan dampak yang tidak hanya pada rusaknya bus, tetapi adanya korban lain yang terkena lemparan batu. Karena pada dasarnya hukum positif (undang-undang) dibuat demi keteriban dan keamanan di dalam masyarakat.

1 comment :