Solidaritas Pada Perilaku Main Hakim Sendiri

Tuesday, September 15, 2015

Solidaritas Pada Perilaku Main Hakim Sendiri



SOLIDARITAS PADA PERILAKU

MAIN HAKIM SENDIRI

Oleh : Nur Habib Fauzi
 
 

 
Belakangan ini, sering sekali terjadi kejadian yang membuat hati bergetar-getar dan tubuh terasa tegang ketika melihat kerumunan orang yang melakukan aniyaya terhadap seseorang karena telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau istilah lainnya adalah “Main hakim sendiri”. Ya, kejadian seperti itu benyak sekali kita temukan dilingkungan sekitar tidak hanya pada daerah pedesaan maupun perkotaan. Istikah main hakim sendiri sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi sebagian orang untuk membuat para pelaku kejahatan yang lain takut ataupun berhenti melakukan tindakan kriminal. Banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku seperti itu, baik dampak positif maupun dampak negatifnya. Salah satu dampak positifnya adalah membuat sipelaku ataupun orang lain yang memiliki niatan untuk berlaku kriminal menjadi kapok dan takut. Sedang dampak negatifnya berimbas pada sipelaku baik secara fisik maupun materi, karena perilaku main hakim sendiri selalu dilakukan dengan tindakan kekerasan ataupun penyiksaan terhadap sipelaku kejahatan bahkan sampai menyebabkan kematian.

Peristiwa main hakim sendiri sering dilakukan terhadap pelaku kejahatan seperti copet, maling, pemerkosa, jambret, begal dan lain sebagainya. Perilaku tersebut sering terjadi apabila dalam suatu kasus kejahatan si pelaku tertangkap oleh warga dan tidak segera dilaporkan atau dibawa ke pihak yang berwenang seperti kepolisian, security, ketua RT dan pihak lainnya. Mereka melakukan tindakan tersebut dikarenakan merasa geram terhadap perilaku-perilaku kejahatan yang terjadi di lingkungan mereka, sehingga ketika ada pelaku kejahatan yang tertangkap mereka berkumpul dan melakukan penyiksaan terhadap pelaku dengan melampiaskan semua emosinya. Apabila tindakan tersebut tidak segera ditangani maka bisa berakibat fatal bagi sipelaku. Banyak sekali kejadian seperti itu yang dapat kita lihat di berita-berita melalui media sosial, seperti kasus pembakaran Bus ataupun perusakan barang milik sipelaku.

Dari peristiwa tersebut, jika kita kaitkan dengan hukum yang berlaku di Negara kita maka akan muncul banyak sekali pertanyaan tentang perilaku main hakim sendiri. Jika ada pertanyaan “Mengapa masyarakat lebih memilih untuk melakukan tindakan main hakim sendiri dari pada menyerahkan pelaku kejahatan kepada pihak yang berwenang yang kemudian akan dihukum dengan sanksi yang ditetapkan dalam undang-undang? Maka akan muncul beberapa pertanyaan lain seperti “Apakah hukum yang berlaku di Negara ini tidak di patuhi oleh masyarakat? Apakah mereka tidak tau kalau setiap tindakan yang dilakukan diatur dalam undang-undang? Ataukah mereka tidak setuju dengan hukum yang berlaku di Negara ini? Atau mereka beranggapan bahwa sanksi daripada pelaku kejahatan itu kurang tegas jika sesuai dengan Undang-undang? Dan akan terus muncul pertanyaan-pertanyaan lain.

Jika kita menggunakan cara pandang Normatif mengenai hubungan masyarakat dengan hukum positif, semestinya setiap pelaku kejahatan diserahkan kepada pihak yang berwenang. Misalnya ada kasus pencopetan disuatu pasar dan tertangkap pelakunya masyarakat seharusnya membawanya ke kantor polisi atau kepetugas keamanan lainya, kemudian pihak kepolisian membawanya kepengadilan dan diproses sesuai undang-undang yang berlaku. Akan tetapi faktanya masih banyak perilaku main hakim sendiri disekitar kita. Jika menggunakan cara pandang Filosofis, maka kita dapat mengembalikan atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri untuk menanggapi kasus-kasus kejahatan. Misalkan pada kasus penculikan disekitar lingkungan kita, tanyakan pada diri sendiri apakah yang kita rasakan jika kita yang menjadi korban penculikan, apakah kita merasa senang? Sedih? Marah? Susah? Atau bahkan gembira? Pasti kita akan menjawab susah dan marah. Kita juga merasa kasian dan ikut merasa susah apabila melihat tetangga atau saudara kita yang menjadi korban penculikan, disisi lain kita juga merasa kawatir dan resah bila kejadian tersebut menimpa kita. dan kita tanyakan lagi, apakah penculikan itu merupakan perbuatan yang baik? Atau buruk? Dan apa yang seharusnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan seperti itu? Dan masih banyak pertanyaan lain yang akan muncul sehingga kita bisa menemukan sebuah jawaban mengapa masih sering terjadi perilaku main hakim sendiri disekitar kita.

Masih ada satu cara lagi untuk menemukan alasan mengapapa masyarakat masih sering melakukan perilaku main hakim sendiri, yaitu menggunakan cara pandang sosiologis. Cara pandang ini melihat bagaimana perilaku adat atau kebiasaan masyarakat dalam menyikapi setiap kejadian-kejadian dilingkungan mereka. Dari sini kita dapat menemukan mengapa perilaku main hakim sendiri tidak selalu terjadi di daerah sekitar kita.

Seorang ilmuan Sosiolog bernama Emile Durkheim (1858-1917 M) dari Perancis mengatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan dari solidaritas sosial”. Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung dari sifat pelanggarnya, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dia juga merumuskan ada dua macam golongan masyarakat dalam menyikapi suatu kejadian. Pertama adalah Masyaraka Mekanis. masyarakat seperti ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang bersifat homogen. Maksudnya pada satu kelompok masyarakat cenderung memiliki kesamaan dalam suatu bidang kebiasaan. Misalnya memiliki pekerjaan yang sama, pola hidup yang sama, dan kebiasaan-kebiasaan yang sama atau adanya hubungan-hubungan yang erat antara satu orang dengan orang lain. Masyarakat mekanis juga dapat ditemukan dalam suatu masyaraat yang berbentuk paguyuban. Maksudnya adalah suatu bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Masyarakat mekanis biasanya berlaku represif dalam menyikapi masalah-masalah yang ada di lingkungan mereka. Mereka cenderung melakukan suatu tindakan yang anarkis (kekerasan), dan dalam golongan ini lebih sering terjadi perilaku main hakim sendiri.

Kedua, Masyarakat Organis. Masyarakat seperti ini dapat ditemukan pada bentuk patembayan atau perkotaan, dimana anggota anggota masyarakatnya tidak memiliki hubungan batin yang begitu kuat, dan kadang mereka saling bersikap acuh-tak acuh terhadap anggota masyarakat yang lain. Masyarakat seperti ini juga bersifat heterogen dimana anggota masyarakatnya memiliki berbagai kebiasaan yang bermacam-macam. Seperti pekerjaan yang berbeda-beda, pola hidup yang beraneka ragam, dan bahkan dalam satu kesatuan masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur politik sehingga interaksi antara masing-masing anggota masyarakat sangatlah kurang. Akan tetapi mereka juga masih memiliki perasaan iba atau kepedualian terhadap anggota yang lain. Masyarakat organis cenderung bersikap prestitutif dalam menyikapi suatu permaslahan di lingkungan mereka dan perilaku main hakim sendiri sangat jarang ditemukan.

Dari ketiga cara pandang diatas dalam menyikapi atau melihat hubungan masyarakat dengan hukum positif sudah dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa perilaku main hakim sendiri pada hakikatnya lebih banyak dampak negative dari pada dampak positif karena bisa berakibat fatal bagi si pelaku, yaitu kematian baginya. Perilaku main hakim sendirpun juga bisa menjadi suatu kebiasaan bahkan menjadi suatu adat yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu kasus kriminal. tentunya juga berdampak negative bagi mereka yang sering berperilaku main hakim sendiri, yaitu bisa mendorongnya berlaku kasar atau anarki dalam setiap tindakannya. Kebiasaan main hakim sendiripun juga harus segera ditangani untuk menghindari hal-hal yang mungkin tidak baik setelahnya, bukannya menyelesaikan masalah malah menambah besar masalah. Kita harus selalu berfikir jernih dalam menghadapi setiap kejadian di sekitar kita. kita juga harus memperhatikan undang-undang yang berlaku agar antara hukum dan masyarakat bisa berjalan beriringan menuju suatu cita-cita yaitu ketertiban.

1 comment :

  1. Anda belum menulis kasus kongkrit di masyarakat tertentu, belum menggambarkan bagaimana karakteristik masyarakat tersebut, belum menganalisis apakah kasus tersebut sesuai teori Emile D atau tidak. Silakan direvisi maksimal tangggal 19 pukul 22

    ReplyDelete