Solidaritas Pada Perilaku Main Hakim Sendiri
SOLIDARITAS
PADA PERILAKU
MAIN HAKIM
SENDIRI
Oleh : Nur
Habib Fauzi
Belakangan ini,
sering sekali terjadi kejadian yang membuat hati bergetar-getar dan tubuh
terasa tegang ketika melihat kerumunan orang yang melakukan aniyaya terhadap
seseorang karena telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau istilah lainnya
adalah “Main hakim sendiri”. Ya, kejadian seperti itu benyak sekali kita
temukan dilingkungan sekitar tidak hanya pada daerah pedesaan maupun perkotaan.
Istikah main hakim sendiri sudah tidak asing lagi bagi masyarakat,
bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi sebagian orang untuk membuat para
pelaku kejahatan yang lain takut ataupun berhenti melakukan tindakan kriminal. Banyak
sekali dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku seperti itu, baik dampak
positif maupun dampak negatifnya. Salah satu dampak positifnya adalah membuat
sipelaku ataupun orang lain yang memiliki niatan untuk berlaku kriminal menjadi
kapok dan takut. Sedang dampak negatifnya berimbas pada sipelaku baik secara
fisik maupun materi, karena perilaku main hakim sendiri selalu dilakukan dengan
tindakan kekerasan ataupun penyiksaan terhadap sipelaku kejahatan bahkan sampai
menyebabkan kematian.
Peristiwa main
hakim sendiri sering dilakukan terhadap pelaku kejahatan seperti copet, maling,
pemerkosa, jambret, begal dan lain sebagainya. Perilaku tersebut sering terjadi
apabila dalam suatu kasus kejahatan si pelaku tertangkap oleh warga dan tidak
segera dilaporkan atau dibawa ke pihak yang berwenang seperti kepolisian,
security, ketua RT dan pihak lainnya. Mereka melakukan tindakan tersebut
dikarenakan merasa geram terhadap perilaku-perilaku kejahatan yang terjadi di
lingkungan mereka, sehingga ketika ada pelaku kejahatan yang tertangkap mereka
berkumpul dan melakukan penyiksaan terhadap pelaku dengan melampiaskan semua
emosinya. Apabila tindakan tersebut tidak segera ditangani maka bisa berakibat
fatal bagi sipelaku. Banyak sekali kejadian seperti itu yang dapat kita lihat
di berita-berita melalui media sosial, seperti kasus pembakaran Bus ataupun
perusakan barang milik sipelaku.
Dari peristiwa
tersebut, jika kita kaitkan dengan hukum yang berlaku di Negara kita maka akan
muncul banyak sekali pertanyaan tentang perilaku main hakim sendiri. Jika ada
pertanyaan “Mengapa masyarakat lebih memilih untuk melakukan tindakan main
hakim sendiri dari pada menyerahkan pelaku kejahatan kepada pihak yang
berwenang yang kemudian akan dihukum dengan sanksi yang ditetapkan dalam
undang-undang? Maka akan muncul beberapa pertanyaan lain seperti “Apakah hukum
yang berlaku di Negara ini tidak di patuhi oleh masyarakat? Apakah mereka tidak
tau kalau setiap tindakan yang dilakukan diatur dalam undang-undang? Ataukah
mereka tidak setuju dengan hukum yang berlaku di Negara ini? Atau mereka
beranggapan bahwa sanksi daripada pelaku kejahatan itu kurang tegas jika sesuai
dengan Undang-undang? Dan akan terus muncul pertanyaan-pertanyaan lain.
Jika kita
menggunakan cara pandang Normatif mengenai hubungan masyarakat dengan hukum
positif, semestinya setiap pelaku kejahatan diserahkan kepada pihak yang
berwenang. Misalnya ada kasus pencopetan disuatu pasar dan tertangkap pelakunya
masyarakat seharusnya membawanya ke kantor polisi atau kepetugas keamanan
lainya, kemudian pihak kepolisian membawanya kepengadilan dan diproses sesuai
undang-undang yang berlaku. Akan tetapi faktanya masih banyak perilaku main
hakim sendiri disekitar kita. Jika menggunakan cara pandang Filosofis, maka
kita dapat mengembalikan atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri
sendiri untuk menanggapi kasus-kasus kejahatan. Misalkan pada kasus penculikan
disekitar lingkungan kita, tanyakan pada diri sendiri apakah yang kita rasakan
jika kita yang menjadi korban penculikan, apakah kita merasa senang? Sedih?
Marah? Susah? Atau bahkan gembira? Pasti kita akan menjawab susah dan marah.
Kita juga merasa kasian dan ikut merasa susah apabila melihat tetangga atau
saudara kita yang menjadi korban penculikan, disisi lain kita juga merasa
kawatir dan resah bila kejadian tersebut menimpa kita. dan kita tanyakan lagi,
apakah penculikan itu merupakan perbuatan yang baik? Atau buruk? Dan apa yang
seharusnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan seperti itu? Dan masih banyak
pertanyaan lain yang akan muncul sehingga kita bisa menemukan sebuah jawaban
mengapa masih sering terjadi perilaku main hakim sendiri disekitar kita.
Masih ada satu
cara lagi untuk menemukan alasan mengapapa masyarakat masih sering melakukan
perilaku main hakim sendiri, yaitu menggunakan cara pandang sosiologis. Cara
pandang ini melihat bagaimana perilaku adat atau kebiasaan masyarakat dalam
menyikapi setiap kejadian-kejadian dilingkungan mereka. Dari sini kita dapat
menemukan mengapa perilaku main hakim sendiri tidak selalu terjadi di daerah
sekitar kita.
Seorang ilmuan
Sosiolog bernama Emile Durkheim (1858-1917 M) dari Perancis mengatakan bahwa
“Hukum merupakan cerminan dari solidaritas sosial”. Durkheim merumuskan hukum
sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung dari
sifat pelanggarnya, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik
tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat.
Dia juga merumuskan ada dua macam golongan masyarakat dalam menyikapi suatu
kejadian. Pertama adalah Masyaraka Mekanis. masyarakat seperti
ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang bersifat homogen. Maksudnya pada satu
kelompok masyarakat cenderung memiliki kesamaan dalam suatu bidang kebiasaan.
Misalnya memiliki pekerjaan yang sama, pola hidup yang sama, dan
kebiasaan-kebiasaan yang sama atau adanya hubungan-hubungan yang erat antara
satu orang dengan orang lain. Masyarakat mekanis juga dapat ditemukan dalam
suatu masyaraat yang berbentuk paguyuban. Maksudnya adalah suatu bentuk
kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang
murni dan bersifat alamiah serta kekal. Masyarakat mekanis biasanya berlaku
represif dalam menyikapi masalah-masalah yang ada di lingkungan mereka. Mereka
cenderung melakukan suatu tindakan yang anarkis (kekerasan), dan dalam golongan
ini lebih sering terjadi perilaku main hakim sendiri.
Kedua, Masyarakat Organis. Masyarakat seperti ini dapat ditemukan
pada bentuk patembayan atau perkotaan, dimana anggota anggota masyarakatnya
tidak memiliki hubungan batin yang begitu kuat, dan kadang mereka saling
bersikap acuh-tak acuh terhadap anggota masyarakat yang lain. Masyarakat
seperti ini juga bersifat heterogen dimana anggota masyarakatnya memiliki
berbagai kebiasaan yang bermacam-macam. Seperti pekerjaan yang berbeda-beda,
pola hidup yang beraneka ragam, dan bahkan dalam satu kesatuan masyarakat
dipengaruhi oleh unsur-unsur politik sehingga interaksi antara masing-masing
anggota masyarakat sangatlah kurang. Akan tetapi mereka juga masih memiliki
perasaan iba atau kepedualian terhadap anggota yang lain. Masyarakat organis
cenderung bersikap prestitutif dalam menyikapi suatu permaslahan di lingkungan
mereka dan perilaku main hakim sendiri sangat jarang ditemukan.
Dari ketiga
cara pandang diatas dalam menyikapi atau melihat hubungan masyarakat dengan hukum
positif sudah dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa perilaku main hakim
sendiri pada hakikatnya lebih banyak dampak negative dari pada dampak positif
karena bisa berakibat fatal bagi si pelaku, yaitu kematian baginya. Perilaku
main hakim sendirpun juga bisa menjadi suatu kebiasaan bahkan menjadi suatu
adat yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu kasus kriminal. tentunya juga
berdampak negative bagi mereka yang sering berperilaku main hakim sendiri,
yaitu bisa mendorongnya berlaku kasar atau anarki dalam setiap tindakannya.
Kebiasaan main hakim sendiripun juga harus segera ditangani untuk menghindari
hal-hal yang mungkin tidak baik setelahnya, bukannya menyelesaikan masalah
malah menambah besar masalah. Kita harus selalu berfikir jernih dalam menghadapi
setiap kejadian di sekitar kita. kita juga harus memperhatikan undang-undang
yang berlaku agar antara hukum dan masyarakat bisa berjalan beriringan menuju
suatu cita-cita yaitu ketertiban.
Anda belum menulis kasus kongkrit di masyarakat tertentu, belum menggambarkan bagaimana karakteristik masyarakat tersebut, belum menganalisis apakah kasus tersebut sesuai teori Emile D atau tidak. Silakan direvisi maksimal tangggal 19 pukul 22
ReplyDelete