Pengertian Rahn, Wadi'ah dan Kafalah
Akad Rahn, Wadi'ah dan Kafalah
Menurut
Bahasa, gadai (al-rahn) yaitu penetapan dan penahanan. Menurut istilah syara’
rahn adalah Akad yang Obyeknya menahan harta terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[1]
Sedangkan menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara dibenarkan yang
memungkinkan ditarik kembali barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syariah sebagai jaminan hutang sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil untangnya semuanya atau sebagian.[2]
وان كنتم على سفر ولم تجدواكانبافرهان مقبوضة (البقره:٢٨٣)
Artinya: “Apabila kamu dalam
perjalanan dan tidak ada orang yang menuiskan utang, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (Al-Baqarah: 283)
رهن رسول الله ص م درعاعند يهودى بالمدينة واخذ منه شعيرالاهله
Artinya:”Rasulullah Saw.
merungguhkan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madnah ketika beliau
mengutang gandum dari seorang Yahudi.
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ
غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ,
وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ
إِرْسَالُهُ
Artinya: “Dari Abu
Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang gadaian tidak menutup
pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugian menjadi
tanggungannya”. Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadist ini mursal.
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى
اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا
) رَوَاهُ اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ, وَإِسْنَادُهُ سَاقِطٌ
Artinya: “Dari Ali ra. bahwa
Rasulullah Saw. bersada: Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba”.
Riwayat Ibn Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا,
وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى
اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra.
bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki
dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar.
Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar”. Riwayat Bukhari.
Gadai
atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:[4]
a.
Akad
(Ijab-Qabul)
b.
Akid/Rahin
(pihak yang menjaminkan)
c.
Murtahin
(Pihak yang menerima jaminan)
d.
Marhun
(Barang yang dijadikan jaminan)
e.
Marhun
bih (Hutang)
Syarat Rahn[5]
a.
Barang
itu sah milik rahin dan berkuasa atas barang tersebut
b.
Barang
yang dijaminkan memiliki nilai ekonomis
c.
Marhun
tersebut harus jelas ukuran, sifat, jumlah dan nilainya
d.
Nilai
marhun harus ditentukan berdasarkan nilai riil
e.
Marhun
bisa dipegang atau dikuasai langsung secara hukum positif
f.
Pemilik
boleh menggunakan/memanfaatkan marhun namun penggunaannya tidak mengurangi
nilai atau harga
g.
Apabila
marhun mengalami kerusakan atau cacat ketika digunakan, maka rahin wajib
memperbaikinya atau menggantinya.
Bila Marhun hilang dibawah
penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak
atau hilangnya karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan.
Perjanjian gadai pada dasarnya
adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba
akan terjadi dalam gadai apabila dalam akadgadai ditentukan bahwa rahin harus
memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad
gadai ditentukan syarat-syarat dan syarat tersebut dilaksanakan.
a.
Bagi pihak yang menerima gadai (murtahin)
-
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal
tetapi membuat tanda terima atas barang
-
Pada saat menyerahkan uang pinjaman
Jurnal:
Dr. Piutang xxx
Kr. Kas xxx
-
Pada saat menerima uang untuk biaya
pemeliharaan dan penyimpanan
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Kr. Pendapatan xxx
-
Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya
pemeliharaan dan penyimpanan
Jurnal:
Dr. beban xxx
Kr. Kas xxx
-
Pada saat pelunasan uang pinjaman, barang
gadai dikembalikan dengan membuat tanda serah terima barang
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx
-
Jika pada saat jatuh
tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang dijual oleh pihak yang
menggadaikan Penjualan barang gadai jika nilainya sama dengan piutang
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx
-
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa
sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo piutang
b. Bagi pihak yang
menggadaikan
Pada saat menyerahkan aset
tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima tas penyerahan aset serta membuat
penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan
-
Pada saaat menerima uang pinjaman
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Kr. Utang xxx
-
Bayar uang untuk biaya pemeliharaan dan
penyimpanan
Jurnal:
Dr. Beban xxx
Kr. Kas xxx
-
Ketika dilakukan pelunasan atas hutang
Jurnal:
Dr. Beban xxx
Kr. Kas xxx
-
Jika pada saat jatuh tempo hutng tidak dapat
dilunasi sehingga barang gadai dijual pada saat penjualan barang gadai
Jurnal:
Dr. Kas (utang) xxx
Dr. Akumulasi Penyisutan
(apabila aset tetap) xxx
Dr. Kerugian (apabila rugi) xxx
Kr. Keuntungan (apabila untung) xxx
Kr. Aset xxx
-
Pelunasan utang atas
barang yang dijual pihak yang menggadai
Jurnal :
Dr.
Utang xxx
Kr.
Kas xxx
-
Jika masih ada
kekurangan pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka
berarti pihak yang menggadaikan masih memiliki saldo utang kepada pihak yang
menerima gadai
Menurut
Bahasa Wadi’ah adalah seuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya
dijaga. Menurut istilah bahwa dijelaskan menurut para ulama’, yaitu:[6]
a.
Menurut
Malikiyyah, “Ibarat perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad atau
pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah
dipindahkan kepada penerima titipan”.
b.
Menurut
Hanafiyyah, “Ibarat seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk
dijaga secara jelas atau sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya
dijaganya”.
c.
Menurut
Syafi’iyyah, “Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”.
d.
Menurut
Hanabillah, “Titipan, Perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas
(tabaru)”.
Dari beberapa pengertian diatas maka
dapatlah disimpulkan bahwa Wadi’ah adalah akad seseorang kepada yang lain
dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak.
Al-Wadi’ah
adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya
pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT.:
فان امن بعضكم بعضا فليؤذ الذى اؤتمن امانته وليتق الله ربه
(البقراة:٢٨٣)
Artinya: “Jika sebagian kamu
mempercayakan sebgian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai Tubannya”. (Al-Baqarah: 283)
Orang yang
menerima barang titipan tidak berkewajiban mengganti benda titipan bila terjadi
sesuatu hal, kecuali yang menerima titipan tidak menjaga baranngya atau karena
kelalaiannya seperti dijelaskan dalah Hadist riwayat Imam Dar al-Quthni dan
riwayat Arar Ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Saw. bersabda:
من اودع وديعة فلا ضمان عليه (رواه الدارقطنى)
Artinya: “Siapa saja yang
dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”. (riwayat Daruquthni)
لاضمان على مؤتمن (رواه البيهقى)
Artinya: “Tidak ada kewajiban
menjamin bagi orang yang dititipi amanat”. (riwayat al-Baihaqi)
Menurut
Hanafiyyah rukun dari Wadi’ah hanyalah Ijab dan Qabul, sedangkan benda titipan
merupakan Syarat. Kemudian dalam Shigat Ijab yang sah apabila ijab tersebut
dilakukan dengan perkataan yang jelas maupun dengan samara (Isarat) demikian
pula dengan qabulnya. Sedangkan untuk pihak-pihak yang dititipi maupun yang
menitipi haruslah seseorang yang mukalaf, maka tidak sah apabila yang menitipi
adalah orang gila ataupun yang dititipi adalah anak yang belum dewasa.
Sedangkan
menurut Syafi’I rukun Wadi’ah ada tiga, yaitu:
a.
Barang
yang dititipkan, syarat pada barang yang dititipkan adalah barang yang dapat
dimiliki menurut sayara’ dana tau tidak bertentangan dengan syara’.
b.
Yang
menitipi dan yang dititipi barang.
c.
Shigat
Ijab-qabul, baik dengan ucapan yang jelas maupun ynag samar.
Macam-macam Wadiah
Berdasarkan
sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
a.
Wadiah yad amanah : adalah akad penitipan barang di mana pihak
penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan
dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang
bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.
b.
Wadiah yad dhamanah: Akad penitipan barang di mana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan
barang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang
tersebut menjadi hak penerima titipan.
Kafalah
menurut Bahasa berarti adh dhammu (menggabungkan). Menurut pengertian
syariah kafalah berarti proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi
tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau utang, atau
barang atau pekerjaan. kafalah adalah kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah
menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang
ditanggung atau menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang
lain.[9]
قال لن ارسله معكم حتى تؤتون موثقا من الله لتلتننى به (يوسف:٦٦)
Artinya: “Ya’kub berkata: aku
tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang teguh
atas nama Allah, bahwa kau pasti membawanya kembali kepadaku”. (Yusuf: 66)
ولمن جاءبه حمل بعير وانا به زعيم (يوسف:٧٢)
Artinya: “dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya piala raja, maka ia akan memperoleh beban makanan
seberat unta dan aku yang menjamin terhadapnya”. (Yusuf 72)
العارية مؤذة ولزعيم غارم (رواه ابو داود)
Artinya: “Pinjaman hendaklah
dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”. (Riwayat Abu Dawud)
ان نبى ص م حمل عرة دانر ن جو قدلزمه غيمه الى شهر وقضاها عنه (رواه
ابوماجه)
Artinya: “Bahwa Nabi Saw. pernah
menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan
untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih”.
(riwayat Ibn Majjah)
ن النبىص م امتنع من الصلاة على من عليه دين فقال ابوقتادة صل عليه
يارسول الله وعلي دينه فصل عليه (رواه البخارى)
Artinya: “Bahwa Nabi Saw. tidak
mau sholat mayit pada mayit yang masih punya utang, maka berkata Abu Qatadah:
Sholatlah atasnya ya Rasulallah, saya akan menanggung utangnya, kemudian Nabi
menyalatinya”. (riwayat Bukhari)
لاكفالة فى حد (رواه البيهقى)
Artinya: “Tidak ada Kafalah dalam
Had”. (riwayat Baihaqi)
Rukun Kafalah
a.
Kafil/Dhamin
(Orang yang menanggung)
b.
Makful
lah (Orang yang mempunyai haka tau piutang)
c.
Makful
‘anhu (Orang yang mempunyai kewajiban atau utang)
d.
Makful
bih (Haka tau kewajiban yang ditanggung)
e.
Shigat
Ijab-Qabul
Syarat Makful bih
a.
Berupa
hak yang tetap ketika pelaksanaannya akad kafalah
b.
Berupa
kewajiban yang tetap
c.
Sesudah
diketahui pihak kafil (penanggung) dari segi:
-
Jenis
mata uang
-
Kadarnya
-
Bendanya
harus diketahui
[1] H. Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
105.
[2] Trisadi P.
Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2013), hal. 41-42.
[3] Al-Hafidh Imam
Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam, (Tasikmalaya:
Dani Hidayat/Pustaka Al-Hidayah).
[4] Hendi Suhendi,
op.,cit., hal. 107.
[5] Trisadini P.
Usanti dan Abd. Shomad., op.,cit., hal. 42.
[6] Hendi Suhendi,op.,cit.
hal. 179-180
[7] Ibid., hal.
182-183.
[8] Ibid., hal.
183.
[9] Trisadini P.Usanti
dan Abd. SHomad, op.,cit., hal. 40.
[10] Hendi SUhendi,
op., cit., hal. 189-190.
[11] Trisadini P.
Usanti dan Abd. Shomad, op.,cit., hal. 41.
0 comments :
Post a Comment