Paradigma Hukum sebagai Pelayan dan Alat Rekayasa Sosial
Paradigma Hukum sebagai Pelayan dan
Alat Rekayasa Sosial
Dalam Undang-undang Pelindungan
Anak
Oleh : Nur Habib Fauzi
Anak adalah bagian penting yang
tidak terpisahkan dari keberlansungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah
bangsa dan Negara. Agar kelak anak dapat menjadi generasi yang berpengaruh
dalam keberlangsungan bangsa dan Negara, maka harus diberikan perlindungan dan
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun
sosial. Untuk itu perlu dilakukan suatu upaya perlindungan guna menjamin
kesejahteraan anak dari perlakuan diskriminatif. Dalam hal menjamin
kesejahteraan seorang anak, Negara telah memberlakukan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Jauh sebelum diberlakukan
undang-undang tersebut, di dalam masyarakat seringkali terjadi perlakuan
kekerasan terhadap anak, salah satunya adalah kekerasan seksual. Mirisnya,
kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat sang anak. Kemudian pada
tahun 2002 diberlakukanlah Undang-undang perlindungan anak yang kemudian
diamandemen pada tahun 2014 yakni Undang-undang Nomor 35. Dengan
diberlakukannya Undang-undang ini, menjelaskan bahwa pemerintah ingin melakukan
suatu perubahan sosial mengenai perilaku masyarakat, yang sebelumnya kekerasan
terhadap anak merupakan suatu aib atau urusan pribadi keluarga menjadikannya
urusan Negara yang harus diawasi bersama. Sehingga perlakuan yag tidak
sepantasnya diterima oleh anak bisa berkurang dan bahkan tidak terjadi sama
sekali. Hubungan timbal balik antara perubahan hukum dengan perubahan sosial
berjalan secara dinamis. Ketika masyarakat dipaksa untuk berubah dengan
diberlakukannya hukum baru, maka akan mempengaruhi keberlangsungan hukum itu
sendiri. Ketika masyarakat telah berubah menjadi lebih baik sesuai tujuan
diberlakukannya hukum tersebut, maka masyarakat juga akan dapat mengubah hukum
tersebut kearah yang lebih relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ada beberapa pernyataan mengenai
perubahan hukum dan perubahan sosial menurut para ahli, diantaranya adalah:
1.
Karl Manheim bahwa “inti dari
perubahan sosial ada pada aturan. Jika aturan dirubah maka yang lainpun akan
mengkuti”.
2.
Selo Soemardjan bahwa “perubahan
sosial dimulai oleh lembaga sosial yang kemudian mempengaruhi lingkungan diluar
lembaga tersebut”.
3.
Soerjono Soekanto bahwa “perubahan
dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilaku,
organisasi, lembaga sosial, lapisan-lapisan masyarakat, dan lain sebagainya”.
4.
Emile Durkheim bahwa “meningkatnya
diferensasi dalam masyarakat, reaksi kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran
kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif makin berkurang, sehingga berubah
dari refresif menjadi restitutif”.
Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa perubahan Sosial akan lebih cepat terjadi ketika aturan yang
diubah, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat.
Secara
umum, undang-undang perlindungan anak mencerminkan adanya perubahan hukum yang
akan memicu perubahan sosial masyarakat, dari UU No. 23 tahun 2002 menjadi UU
No. 35 Tahun 2014. Undang-undang ini dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk
melindungi hak-hak anak dalam mengembangkan kemampuan atau mengekspresikan
dirinya terhadap lingkungan. dalam menganalisis hukum terdapat dua paradigma
perubahan, yaitu:
1.
Hukum sebagai pelayan kebutuhan
masyarakat agar hukum tidak tertinggal oleh laju perubahan masyarakat.
Ciri-ciri
paradigm ini antara lain:
a.
Perubahan hukum atau perubhan
sosial diikuti oleh system lain karena dalam kondisi saling ketergantungan.
b.
Hukum selalu menyesuaikan diri pada
perubahan sosial.
c.
Hukum berfungsi sebagai alat
mengabdi pada perubahan sosial.
Paradigm ini
disebut juga sebagai paradigm hukum penyesuaian kebutuhan.
2.
Hukum dapat menciptakan perubhan
dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memicu perubahan-perubahan.
Ciri-ciri paradigm
ini antara lain:
a.
Hukum merupakan alat merekayasa
masyarakat.
b.
Hukum merupakan alat merubah
masyarakat secara langsung.
c.
Hukum berorientasi masa depan.
Berdasarkan dua paradigm tersebut
terdapat beberapa kemungkinan yang akan terjadi, yaitu:
a.
Hukum benar-benar berubah seperti
keinginan masyarakat (Full Compliences).
b.
Hukum mempertajam persepsi
perubahan dalam masyarakat.
c.
Hukum hanya melakukan retifikasi
atau pengesahan atas sesuatu yang benar-benar telah berubah dalam masuarakat.
d.
Hukum berubah, tetapi tidak seperti
apa yang diinaginkan oleh masyarakat. Munculnya pendapat yang lebih kuat dari
pendapat masyarakat secara umum dalam forum perubahan hukum.
Analisis Pasal
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam
Bab II tentang Asas dan Tujuan
Pasal
2
Penyelenggaraan
Perlindungan Anak berasakan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prnsip dasarKonvensi Hak-hak
Anak meliputi:
a.
Non
diskriminasi;
b.
Kepentingan
yang terbaik bagi anak;
c.
Hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
Penghargan
terhadap pendapat anak.
Pasal
3
Perlindungan
anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminai, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahklak mulia,
dan sejahtera.
Dalam
pasal ini menunjukkan paradigma pertama, yaitu hukum sebagai pelayan
masyarakat. Kedudukan Anak sebagai masyarakat, yang kemudian dilindunginya oleh
undang-undang sangat jelas bahwa hukum melayani kebutuhan anak dalam menjaga
hak-haknya. Hal inipun sesuai dengan ciri-ciri ketiga, yaitu Hukum berfungsi
sebagai alat mengabdi terhadap perubahan masyarakat.
Bab
III tentang Hak dan Kewajiban Anak
Pasal
6
“Setiap Anak
berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekpresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.”
Orang
tua yang sebelumnya membatasi kehendak anaknya, baik dalam beribadah maupun
mengekpresikan dirinya terhadap lingkungan, diubah secarapaksa oleh hukum.
Hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu, atau bukan urusan pihak diluar
keluarganya menjadi urusan pemerintah dan mayarakat dengan memberlakukan
Undang-Undang tentang perlindungan Anak. Dengan demikian secara langsung hukum
mengubah pola perilaku masyarakat terhadap anaknya. Hal ini menunjukan bahwa
pasal 6 merupakan gambaran dari Hukum sebagai alat rekaya sosial (paradigm dua).
Semua orang tua di Indonesia akan mematuhi isi dari pasal 6 ini, karena jika
tidak akan diancam oleh pasal 77 pada Bab XII tentang ketentuan Pidana yang
mengatakan:
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a.
Diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b.
Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial,
c.
Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (serratus juta rupiah).
Kemudian
dalam pasal 77 inipun menunjukkn bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Dimana ancaman pidana dalam pasal ini akan memaksa semua orang untuk tidak
mendiskriminasi atau melakukan kekerasan terhadap anak dan mematuhi
aturan-aturan dalam pasal yang lain. Yang berarti pasal 77 juga sebagai
paradigma ke 2.
Dengan
demikian dapat kita lihat bahwa setiap hukum berisikan dua paradigma, yaitu
Hukum sebagai Alat rekayasa Sosial, dan Hukum merupakan pelayan Masyarakat.
Tujuan hukum dapat tercapai apabila hukum sesuai dengan kebutuhan dan Nilai-nilai
yang ada dalam masayarakat. Karena pada kenyataannya, ketika pemerintah ingin
melakukan rekaya sosial dengan memberlakukan hukum, akan tetapi hukum tesebut tidak sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, maka hukum itupun akan
ditolak.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Ni’mah, Zulfatun.
2012. Sosiologi Hukum sebuah Pengantar. TERAS. Yogyakarta.
Muliyawan,
Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang
Perlindungan Anak, diakses dari http://www.pn-palopo.go.id
pada Sabtu, 07 Nopember 2015 pukul 21.45 WIB.
menurut saya, kekerasan itu boleh dilakukan dengan presentase dan posisi yang tepat. soalnya kekerasan itupun juga sangat diperlukan khususnya dalam membentuk karakter setiap indiviu manusia, kita ambil saja contoh didalam (kemiliteran). justru, menurut saya yang tidak boleh itu adalah KEKEJAMAN, karena kekejaman itu lebih spesifik dan presentasenya lebih diatasnya KEKERASAN.
ReplyDeletejadi, usul saya seharusnya undang-undang itu harus diubah.
karena kita tidak mempunyai kekuasaan didalam ranah pembuatan atau rancangan undang-undang dan mengesahkan, maka ini hanya sebuah usul saja dan masih perlu banyak pengkajian-pengkajian yang lebih dalam. jadi, mohon diteliti kembali mengenai undang-undang itu beserta pendapat saya. sekian dan terimakasih............,
menurut saya kekarasan tidaklah diperbolehkan, dalam bidang apapun apalagi pendidikan (kemiliteran). dalam hal itu, selalu ada Norma-norma yang harus dipatuhi. karena di dalam kemiliteran bukanlah termasuk kekerasan, akan tetapi pendidikan fisik dan mental untuk menjadikan mereka sanggup dalam menghadapi tugas dilapangan, dimana para anggota TNI disiapkan untuk menghadapi ancaman perang. dari segi manapun, tindakan kekerasan hanya berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun korban...^_^
Deleteapa perbedaan yang spesifik antara kekerasan dengan pendidikan fisik dan mental?
Deleteserta apakah makna dari KEKERASAN yang mengambil dari kata KERAS itu sendiri?
menurut anda dibalik kata KERAS itu sendiri apa menfaatnya dan tidak kemanfaatanya ataukah justru manfaat itu sendiri tidak ada sama sekali?
dan jika kekerasan itu tidak dibolehkan dari tingkat keluarga, maka seharusnya kekerasan itu sendiri harus memiliki sifat yang globlal (universal) melihat dari tingkat yang terkecil seperti itu diatur. demi untuk tercapainya rasa keadilan itu sendiri dimasyarakat umum tanpa melihat statifikasi sosialnya ditingkat apa.
trus bagaimana jika itu dilakuhkan oleh kepala keluarga yang menjadi tulang punggung keluarga dan dia dihukum. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (serratus juta rupiah). apakah tidak akan merugikan merugikan keluarga tersebut.
ReplyDeleteapakah hukum tidak dapat dan memperhitungkan hal tersebut.
itu hanya sebuah pendapat dari manusia yang tak luput dari kesalahan... terimakasih.............!!!!!!!!!!!!!!
memang tidak ada ketentuan mengenai keringanan bila terjadi hal yang anda maksud didalam Undang-undang perlindungan anak, maka dari itu, tanpa perlu diubahpun, seharusnya sudah menjadi tanggungjawab si ayah untuk menjamin tumbuh kembang anaknya, baik secara materi maupun non materi. seoarang ayah harus menyadari betapa pentinggnya keberadaannya dalam menjaga perkembangan anaknya, sehingga ia harus berfikir seribu kali dalam memperlakukan anaknya.
Deletekarena jika hukum memberikan keringanan akan kasus semisal itu, akan dijadikan dalih bagi pelaku untuk mendapatkan keringan hukuman pidana.....^_^
menurut saya, sangat setuju.. karena mendidik anak itu jangan dengan kekerasan. karena dengan kekerasan akan mempengaruhi pesikologis sang anak dan memicu tindakan kekerasan di masa yang akan datang.
ReplyDeleteterimakasih ats komentar anda... memberikan semangat kepada saya untuk lebih giat menulis,...^_^
DeleteSaya Feri Wahyudi Hes IIIa, Sebelumnya terimakasih banyak sudah mengunjungi dan berkomentar di blog saya, Mohon Izinkan saya juga berkomentar artikel yang anda tayangkan, Dari kalimat yang anda susun menurut saya cukup mudah di fahami tentang UU di atas lalu yang inggin saya tayakan,
ReplyDeleteApakah pemerintah sudah menerapkan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan baik dan siapa saja yang terlibat, sedangkan oknum sebagian Orangtua tak perduli dengan aturan ini buktinya banyak berita mengabarkan Indonesia menunjukkan trend peningkatan orang tua menjadi tersangka utama tindak kekerasan anak, Bagaimana pendapat anda dengan hal ini?
itu tujuan awal dan yang di inginkan. jika kasus itu benar-benar terjadi akhirnya seorang ibu akan menjadi wanita pekerja. dengan seiringnya jalan tersebut anak itu akan kekurangan kasih sayang karena ibunya sibuk mencari nafkah menggantikan ayahnya, sedangkan tujuan dibentuknya undang-undang itu agar anak mendapatkan kasih sayang yang lebih beras dari orang tuanya tentunya..............
ReplyDeleteTentang paradigma hukum sebagai alat pelayanan masyarakat terhadap perubahan sosial, Anda harus membedakan dengan pelayanan negara yang disediakan untuk mengatasi kekerasan terhadap anak.
ReplyDeleteNilai 80