SOLIDARITAS DAN
HUKUM
oleh Nur Habib
Fauzi
Kali ini saya
ingin membahas materi tentang hubungan dari pada solidaritas di dalam
masyarakat dengan hukum yang berlaku atau hukum positif. Manusia adalah mahkluk
sosial, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Maka
terjadilah interaksi antar manusia dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Setiap manusi memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda-beda, mereka juga
mempunyai hak yang harus terpenuhi dan kewajiban yang harus mereka jalankan. Manusia
berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada suatu
pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh
karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu aturan
hidup bersama sesuai dengan prinsip moral tersebut.
Hukum adalah
sekumpulan aturan-aturan yang mengikat dan memiliki konsekuensi sanksi bagi
pelanggarnya, dibuat oleh suatu badan atau lembaga yang memiliki kekuasaan.
Hukum merupakan suatu aturan yang berkemabang di dalam masyarakat dan harus
ditaati. Untuk melihat hubungan antara masyarakat dengan hukum, ada 3 cara
yaitu:
1.
Cara
pandang Normatif (Das Sollen), dimana dalam menyikapi setiap permasalahan di
masyarakat diselesaikan berdasarkan apa yang sudah ada dalam undang-undang
(hukum positif).
2.
Cara
pandang Filosofis (Law in Idea), dimana kita harus melihat atau mencari
alasan-alasan mendasar (hakikat) dari pada mengapa permasalahan itu terjadi dan
mengapa hukum itu dibuat.
3.
Cara
pandang Sosiologis (Law in Action), dimana kita memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan atau adat yang ada di masyarakat dalam menyikapi dan menangani
setiap permasalahan yang terjadi.
Seorang ilmuan
sosiolog dari Perancis, Emile Durkheim (1858-1917 M) mengatakan bahwa “Hukum
merupakan cerminan dari solidaritas sosial masyarakat”. Durkheim merumuskan
hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa
tergantung dari sifat pelanggarnya, anggapan-anggapan serta keyakinan
masyarakat tentang baik tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi
tersebut dalam masyarakat. Dia juga merumuskan ada dua macam golongan
masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan. Pertama adalah Masyaraka Mekanis,
masyarakat seperti ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang bersifat
homogen. Maksudnya pada satu kelompok masyarakat cenderung memiliki kesamaan
dalam suatu bidang kebiasaan. Misalnya memiliki pekerjaan yang sama, pola hidup
yang sama, dan kebiasaan-kebiasaan yang sama atau adanya hubungan yang erat
dalam satu kesatuan masyarakat. Masyarakat mekanis juga dapat ditemukan dalam
suatu masyaraat yang berbentuk paguyuban. Maksudnya adalah suatu bentuk
kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang
murni dan bersifat alamiah serta kekal. Masyarakat mekanis biasanya berlaku represif
dalam menyikapi masalah-masalah yang ada di lingkungan mereka. Mereka cenderung
melakukan suatu tindakan yang anarkis (kekerasan), dan dalam golongan ini lebih
sering terjadi perilaku main hakim sendiri.
Kedua, Masyarakat Organis. Masyarakat seperti ini dapat ditemukan
pada bentuk patembayan atau perkotaan, dimana anggota masyarakatnya tidak
memiliki hubungan batin yang begitu kuat, dan kadang mereka saling bersikap
acuh-tak acuh terhadap anggota masyarakat yang lain. Masyarakat seperti ini
juga bersifat heterogen dimana anggota masyarakatnya memiliki berbagai
kebiasaan yang bermacam-macam. Seperti pekerjaan yang berbeda-beda, pola hidup
yang beraneka ragam, dan bahkan dalam satu kesatuan masyarakat dipengaruhi oleh
unsur-unsur politik sehingga interaksi antara masing-masing anggota masyarakat
sangatlah kurang. Akan tetapi mereka juga masih memiliki perasaan iba atau
kepedualian terhadap anggota yang lain. Masyarakat organis cenderung bersikap
prestitutif dalam menyikapi suatu permaslahan di lingkungan mereka dan perilaku
main hakim sendiri sangat jarang ditemukan.
Berikut tabel
pemisahan golongan masyarakat menurut Emile Durkheim:
Golongan Masyarakat
|
Bentuk masyarakat
|
Kebiasaan/Ciri
|
Perilaku
|
Mekanis
|
Paguyuban
|
Homogen
|
Represif
|
Organis
|
Patembayaan
|
Heterogen
|
Prestitutif
|
Pendapat dari
Emile Durkhein ini, bisa kita analisa apakah benar bahwa solidaritas bisa
mempengaruhi masyarakat dalam menyikapi atau menentukan hukum pada permasalahan
yang terjadi di lingkungan mereka. Kita bisa melihat contoh kasus dibawah ini:
Pada hari Senin 25 Mei 2015 lalu, sekitar pukul 23.00 WIB terjadi
kecelakaan di perempatan desa kedunglurah. Bus harapan Jaya menerobos lampu
merah dan menabrak pengendara sepeda motor yang berboncengan. satu dari dua
pengendara tersebut meninggal di tempat, dan satunya meninggal dunia setelah
dilarikan kerumah sakit.
Berdasarkan keterangan yang diberikan para saksi, kronologinya
dimulai dari bus Harapan Jaya yang datang dari arah timur berebut penumpang
dengan bus Pelita Indah. Ketika sampai di perempatan kedunglurah bus Harapan
Jaya menerobos lampu merah. Dari arah yang berseberangan, ada enam pengendara
sepeda motor yang menyeberang dari arah uatara menujuju selatan. Ketika lima
pengendara sudah melewati perempatan, satu pengendara yang berboncengan masih
berada di pertengahan perempatan dan langsung disantap bus Harapan Jaya dari
arah timur. Dua pengendara tersebut terpental kesebelah utara dan kesebelah
barat, sedang sepeda motornya terseret dibawah bus bagian depan kurang lebih
sejauh 20 meter dan berhenti didepan pasar kedunglurah. Diikuti dari belakang
bus Pelita Indah dari arah yang sama dengan Bus Harapan Jaya. Situasi langsung
pecah, seluruh penumpang keluar untuk melihat dan sebagian pindah ke bus Pelita
Indah untuk melanjutkan perjalanan. Disaat yang bersamaan para warga
berdatangan dan mengamuk, mereka melempari bus dengan batu. Tidak sedikit warga
lain yang juga terluka karena lemparan batu itu. Sopir dikabarkan melarikan
diri ke arah selatan dan menyerahkan diri ke kantor polisi. Seluruh warga
bertambah emosinya ketika sopir menghilang dari TKP. Para warga yang tidak
hanya dari desa kedunglurah mulai berdatangan. Mereka semua mengamuk melihat
kejadian itu. Seluruh warga berusaha menggulingkan bus. Tidak lama kemudian
anggota kepolisian datang, dan kericuhan mulai reda.
Dari kasus di
atas, dapat kita analisa, bahwa masyarakat yang mengamuk dikarenakan melihat
anggota masyarakatnya meninggal dunia disebabkan sopir bus yang ugal-ugalan.
Mereka bersifat represif karena ingin menuntut sang sopir untuk diadili
ditempat kejadian. Warga merasa sakit ketika melihat ada warganya yang
meninggal akibat kecalakaan itu dan berusaha merusak bus yang digunakan untuk
menabrak warganya.
Disini sudah
jelas bahwa masyarakat kedunglurah dan sekitarnya memiliki ikatan yang kuat
atau solidaritas yang besar. Bahwa maysarakat kedunglurah termasuk masyarakat mekanis
seperti yang dijelaskan oleh Emile Durkheim.
Sebenarnya jika
kita melihat perilaku warga kedunglurah dalam menyikapi kecelakaan dalam kasus
diatas juga tidak dibenarkan di dalam undang-undang. Dengan menggunakan cara
pandang Normatif dalam menyikapi kasus diatas, seharusnya warga tidak melakukan
tindakan yang anarkis. Akan tetapi mereka semestinya segera melaporkan kejadian
tersebut kepada pihak kepolisian untuk melakukan suatu tindakan-tindakan sesuai
dengan apa yang sudah diatur dalam undang-undang. Kerugian-kerugian yang timbul
akibat perilaku anarkis itu menyebabkan dampak yang tidak hanya pada rusaknya
bus, tetapi adanya korban lain yang terkena lemparan batu. Karena pada dasarnya
hukum positif (undang-undang) dibuat demi keteriban dan keamanan di dalam
masyarakat.