Madzhab dan Aliran Teologi Islam

Wednesday, December 30, 2015

Madzhab dan Aliran Teologi Islam



 MADZHAB DAN ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Oleh: 1. Nur Habib Fauzi
2. Mita Husnurosyida

Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. sebagai agama yang rahmatal lil’alamin. Al-qur’an adalah kitab yang telah dikodifikasi dari semua wahyu Allah SWT yang di berikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Al-qur’an berisi petunjuk bagi umat manusia dalam setiap aktivitas hidupnya.
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, setiap permasalahan yang timbul dan belum jelas diterangkan dalam Al-qur’an, para sahabat langsung menanyakan perihal tersebut kepada beliau. Yang kemudian para sahabat menyebutnya dengan As-Sunnah, yang berisi perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) dan ketetapan atau penegasan (ta’lifiyah) Nabi Muhammad SAW. dalam setiap tindakannya. Dari pada itu, sebenarnya sudah jelas bahwa, madzhab yang pertama adalah madzhab Nabi Muhammad SAW. karena seluruh umat Islam dimasa itu langsung dan mengikuti apa yang Nabi perintahkan atau contohkan.
Sesudah Rasul wafat, semakin tampak jelas mulainya ada madzab-madzhab dikalangan masyarakat. Mulai dari perbedaan pendapat yang timbul dalam setiap permasalahan.
Perbedaan pendapat itu, semakin lama, seiring berjalannya waktu bertambah jelas. Mulai dari bidang amaliyah, permulaan perselisihan mereka ialah dalam hal pemerintahan. Khalifah Abu Bakar ra. Dan Umar ra. berusaha supaya tidak terjadi ikhtilaf dalam bidang hukum, namun terjadi juga. Akan tetapi perselisihan dikalangan sahabat itu menjadi awal lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari.[1]

Pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra. Daerah wilayah daulah Islam semakin luas. Hal ini membuat tersebarnya para sahabat dan tabi’in di berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Meskipun dikala itu masyarakat sudah mempunyai kebudayaan lain kebudayaan yang mempengaruhi, akan tetapi para fuqaha dapat juga memberi pengaruh baru.  Karena itu dapat kita lihat bahwa ada dua penyebab yang mempengaruhi perkembangan fiqh di daerah-daerah itu. Pertama lingkungan dan kedua adalah sistem yang dipakai dalam memberikan dan membentuk hukum. Kota-kota yang didiami para sahabat itu merupakan suatu madrasah yang mempunyai corak sendiri. Madrasah itu pada nyatanya memiliki dua corak yang berbeda, antara lain:[2]
1.    Madrasah Hadits, yang sifatnya membatasi diri dengan sekedar yang ada di dalam nash. Panji-panji madrasah hadits dipegang oleh ulama dari Hijaz, terutama oleh ulama-ulama Madinah, meskipun ada juga diantara mereka yang menggunakan Ra’yu.
2.    Madrasah Ra’yu, yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illat-illat kausalita hukum. Panji madrasah ini dipegang oleh ulama Irak, teristimewa ulama Kufah.

Para fuqaha sering sepakat memberikan fatwa terhadap permasalahn yang belum ada nashnya. Tidak semua permasalahan yang tidak ada nashnya mereka memberikan kata sepakat dalam penentuan hukum. Dari itu, tidak menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk mengikuti ketentuan yang tidak menemukan suatu kesepakatan yang sama.
Pendapat-pendapat para sahabat itu, dinukilkan oleh murid-muridnya tapi tidak disebarluaskan kepada masyarakat dan tidak dicampur dengan pendapat lain. Karena madzhab mereka adalah madzhab fardi. Sesudah masa para sahabat berlalu. Para fuqaha membukukan pendapat para guru-guru mereka sebagai suatu himpunan dan kemudian mereka sebarluaskan kepada masyarakat. Sehingga membentuk suatu madzhab Jamai, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan lain sebagainya.

Pendiri Madzhab ini adalah Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuta Ibn Mahan at-Taymi lebih dikenal Abu Hanifah. Beliau lahir di Kuffah, Irak pada 80 H/699 M dan meninggal di Baghdad, Irak pada 148 H/767 M. Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat Nabi, karena beliau pernah bertemu dengan salah seorang Sahabat bernama Anas Ibn Malik, dan meriwayatkan Hadist darinya serta Sahabat lainnya.[4]
Di antara Abu Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan Hasan Ibn Ziyad. Mereka bersama-sama dengan Abu Hanifah membentuk Madzhab Hanafi pada permulaan abad ke-2 Hijriah. Abu Hanifah mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menggunakan mantiq dan menetapkan hukum syara’ dengan qiyas dan istihsan.
Dasar-dasar madzhab Abu Hanifah[5]
Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan. Ia mempergunakan qiyas dan istihsan apabila beliau tidak memperoleh nash dalam kitabullah, sunnatur rosul atau ijma’. Dengan memperhatikan cara-cara yang ditempuh Abu Hanifah untuk beristinbath, nyatalah bahwa hukum-hukum fiqh dalam madzhabnya ialah Al-Qur’an. As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan.
Pemikiran Abu Hanifah tentang Ekonomi Islam[6]
1.    Salam (QS. Al-Baqoroh : 282 - Qiyas)
Konsep salam menurut Abu Hanifah yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifah mengkritik kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar terlebih dahulu, dengan orang yang memberikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan memperinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak.
2.    Murabahah (QS. Al-Baqoroh : 275)
Untuk menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam bertransaksi beliau memberikan contoh murabahah dalam hal jual beli. Murabahah yaitu penjualan dengan suatu presentase kenaikan harga yang disepakati terhadap harga pembelian pembayaran yang diangsur. Pengalaman Abu Hanifah di bidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini dan transaksi sejenis.
3.    Muzara’ah
Abu Hanifah sangat perhatian pada orang-orang lemah. Abu Hanifah membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah tidak menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah. Dasar Abu Hanifah membolehkan hal tersebut berdasarkan hadits yang artinya “dari Ibn Umar, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah berupa sebagian dari buah atau tanaman yang dhasilkan.” (HR. Bukhari).

Malik Ibn Anas Ibn Amr Al Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Amr, Al Imam, Abu Abd Allah Al Humyari Asbahi Al Madani). Lahir di Hijaz, Madinah pada tahun 93 H/714 M dan meninggal pada tahun 179 H / 800 M.[7]
Kota Madinah adalah Darul Hijrah tempat Nabi Muhammad SAW berdiam sesudah hijrah dari Mekkah. Kota inilah yang menjadi pusat ahli hadits dan tempat kelahiran Imam Malik. Beliau yang terkenal sebagai pemuka Fiqh di daerah Hijaz dan menjadi guru As-Syafi’i. Malik mempelajari Fiqh dari Rabi’ah Ibn Abdir Rohman dan mempelajari hadits dari Navi’, Az Zuhri, Abi Zinad, Yahya Ibn Sa’id Al-Anshari. Beliau menyusun sebuah hadits yang dinamai Al-Muattaq. Disusun secara kitab Fiqh, isi kitabnya disepakati oleh para ulama.
Dasar-dasar madzhab Maliki[8]
Al-Qodli Iyadl dalam kitab Al Madarik berkata “Malik mendahulukan Kitabullah menurut tertib terang samarnya. Yakni beliau mendahulukan nash, kemudian yang dhahir, kemudian yang mafhum. Setelah itu beliau berpegang pada As-Sunnah, kemudian Ijma’ baru kemudian Qiyas”. Dalam pada itu Malik tidak memberi pada Qiyas kedudukan yang diberikan oleh Abu Hanifah.
Pemikiran Imam Malik dalam Ekonomi Islam[9]
1.    Bahwa penguasa mempunyai tanggungjawab untuk menyejahterakan rakyat, memenuhi kebutuhan rakyat seperti halnya yang juga dilakukan oleh Umar Ibn Khattab.
2.    Menerapkan prinsip/azas al-Maslahah, al-Mursalah. Al-Maslahah dapat diartikan sebagai azas manfaat (benefit), kegunaan (utility), yaitu sesuatu yang memberi manfaat baik kepada individu maupun kepada masyarakat banyak. Sedangkan prinsip al-Mursalah apat diartikan sebagai prinsip kebebasan, tidak terbatas atau tidak terikat.

Dua elemen yang terdapat dalam metode Imam Malik menunjukkan bahwa ia mengakui hak Negara Islam untuk memungut pajak demi memenuhi kebutuha bersama.

Abu Addullah Muhammad Ibn Idris al-Shafi’I atau Muhamma Ibn Idris Asy-Syafi’I yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H/767 M, meninggal di Fushat, Mesir pada 204 H/819 M.adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Imam Syafi’I juga tergolong kerabat Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muthalib, saudara Hasyim yang merupakan kakek Nabi Muhammad SAW.[10]
Saat berusia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Dua tahun kemudian beliau pergi untuk berguru kepada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Dasar madzhab Syafi’i[11]
Di dalam Ar-Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang dipeganginya, ialah:
a.       Al-Qur’an menurut dhahirnya.
b.      As-Sunnah walaupun ahad.
c.       Ijma’, dan
d.      Qiyas.
Asy-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara tharikat ahlul hadits dengan tharikat ahlur Ra’yi. Lantaran itu menjadilah madzhabnya tidak terlalu cenderung kepada ahlul hadits dan tidak cenderung kepada ahlur Ra’yi.

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah adz-Dzuhli Asy-Syabaniy. Nasab beliau betemu dengan nasab Nabi pada Nizar bin Ma’d bin Adnan. Yang berarti bertemu pula dengan nasab Nabi Ibrahim.[12]
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada tahun 164 H. Di sana tinggal para Qari’, ahli Hadits, para sufi, ahli Bahasa, filosof, dan sebagainya. Ahmad Hambal telah menghafal Al-qur’an pada usia 14 tahun, dan melanjutkan pencarian ilmunya di ad-Diwan. Beliau mempelajari hadits-hadits dengan mencari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid atau rekan Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 186 H beliau pergi ke Hijaz untuk berguru kepada Imam AS-Syafi’i. beliau menyusun kitabnya yang terkenal Al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar 60 tahun.
Dasar-dasarMadzhab Hambali[13]
Madzhab ini didasarkan pada:
1.      Nash Al-qur’an atau nash As-Sunnah.
2.      Fatwa Shahabi, apabila tidak memperoleh nash.
3.      Pendapat sebagian sahabat.
4.      Hadits mursal atau hadits dhaif, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seseorang sahabat.
5.      Qiyas.

Munculnya aliran-aliran teologi dalam Islam dimulai setelah Rasulullah SAW. wafat. Ketika itu, terjadi perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam menentukan siapakah yang akan menjadi Khalifah Umat Islam. Datanglah Abu Bakar ra. dan Umar ra. Untuk meredam  perselisihan itu, yang kemudian Umar Ibn Khattab ra. mendelegasikan Abu Bakar ra.  untuk menjadi Khalifah dan disepakati oleh kaum Anshar dan Muhajirin.
Masa pemerintahan Abu Bakar ra. tidak berjalan mulus begitu saja. Beliau menghadapi banyak peperangan. Yang kemudian sampai akhir hayatnya beliau meninggal karena sakit, dan mengutus Umar Ibn Khattab ra. Untuk menggantikannya.
Setelah menjadi khalifah, Umar ra. banyak melakukan peperangan demi memperluas penyebaran ajaran agama Islam. Beliau sering menggunakan Ijtihad dalam menyelesaikan permaslahan-permasalahan yang belum jelas dalam nash. Sebelum Umar ra. Wafat, beliau mendelegasikan Usman Ibn Affan ra. dan Abdurrahman Ibn Auf untuk dipilih satu dari mereka sebagai penggantinya menjadi Khalifah (Amirul Mukminin). Beliau mendelegasikan mereka untuk menghindari terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam.
Terpilihlah Utsman Ibn Affan ra. sebagai Khalifah baru. Masa pemerintahan Utsman ra. juga mengalami banyak kritikan, meskipun pada masa beliau juga banyak kemajuan-kemajuan seperti halnya pengkodifikasian Al-Qur’an yang kemudian sampai saat ini kita mengenal musaf Utsmani. Pada masa pemerintahannya, Utsman ra. banyak memasukkan anggota keluarganya untuk masuk kedalam roda pemerintahan, sehingga memicu terjadinya pemberontakan terhadapnya. Pemberontakan tersebut mengakibatkan meninggalnya Utsman Ibn Affan ra.
Setelah Utsman ra. wafat, terpilihlah Ali Ibn Abi Thalib sebagai Khalifah. Pada masa ini, juga terjadi banyak pemberontakan yang didasari atas kasus pembunuhan Utsman Ibn Affan ra. yang kemudian memicu terjadinya perang saudara, yaitu perang Siffin. Dalam perang tersebutlah yang menjadi awal munculnya aliran-aliran teologi Islam.
Istilah Syi’ah melekat pada mereka yang mengakui Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah Islam dari pada sahabat yang lain setelah Rasulullah SAW.[14]
Mengenai lahirnya Syi’ah terdapat dua pendapat dikalangan para ulama. Pendapat pertama beranggapan bahwa syi’ah muncul sejak Rasululah SAW. wafat. Kalangan muslim yang tidak mengakui Khalifah Abu Bakar ra. dianggap sebagai Syi’ah. Mereka yang termasuk kelompok ini adalah Ali Bin Abi Thalib ra., Fatimah Az-Zahra, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Abu Dzar, Ammar bin Yassir, Miqdad bin Al-Aswad, Malik Asytar, dan beberapa budak Muslim. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa Syi’ah lahir setelah perang Siffin. [15]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah
a.    At-Tauhid
Kaum Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT. itu Esa, tempat bergantung semua mahkluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat,yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus ada pada Allah SWT. sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hay (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik), qadim azalu baq, mutakalim dan shiddiq. Sedang sifat yang kedua adalah al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin dimiliki Allah SWT.
b.    Al-‘adl
Bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia.
c.    An-Nubuwwah
d.    Al-Imamah
e.    Al-Ma’ad

Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut Harun Nasution ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama khawarij diberikan atas surat an-Nisa ayat 100 yang didalamnya disebutkan : “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya. Selain itu mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyiri (Menjual), sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqoroh ayat 207 : “Ada manusia yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah”. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura, suatu desa di dekat Kufah, Irak. Di tempat inilah, mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih ‘Abdullah Ibn Abdul Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran dengan Ali mereka mengalami kekalahan besar. Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib setelah terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Pada mulanya, kelompok ini berjuang di pihak Ali ketika terjadi perang Siffin antara Ali dan Muawiayah dan kelompok inilah yang mendukung Ali untuk melakukan arbitrase dengan Muawiyah. Namun setelah Ali dan Muawiyah melakukan arbitrase, kelompok ini menolak kesepakatan arbitrase dan keluar dari kelompok Ali.
Sebelumnya, menurut sebagian pendapat, Ali sebenarnya mencium adanya tipu daya dibalik ajakan perundingan damai tersebut sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama Ahl-Qurra. Dengan sangat terpaksa Ali menerima permintaan perjanjian damai tersebut. Dalam perundingan damai tersebut, Ali mengutus Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (Hakam)nya, tetapi orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompoknya Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa al Asy’ary dengan harapan yang dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah. Keputusan tahkim menurut riwayat, yakni Ali diberhentikan jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah sangat mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia, Tidak ada hukum selain hukum disisi Allah.  Ali r.a menjawab “Ini adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” Pada saat itulah orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali r.a dan menuju Harura. Itulah sebabnya, Khawarij disebut sebagai Haruriah. Dengan Arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura.
Di Harura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan terhadap Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.  Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al Mariqoh.



Pokok-pokok Ajaran Khawarij[16]
1.    Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab dan harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2.    Khalifah sebelum Ali adalah sah. Tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya dianggap telah menyeleweng.
3.    Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu musa Al-As’ari dan pasukan perang Jamal yang melawan Ali  juga telah di anggap menyeleweng dan kafir.
4.    Seseorang yang berdosa besar tidak lagi di  sebut muslim sehingga harus di bunuh. Yang sangat anarkis lagi mereka memenganggap seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus di lenyapkan pula.
5.    Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka bila tidak bergabung maka wajib di perangi.
6.    Al-Qur’an adalah mahluk (bukan qadim)
Manusia bebas memutuskan perbuatannya sendiri bukan dari Tuhan.

Tokoh-tokoh khawarij antara lain Ikrimah, Abu Harun Al-Abdi, Abu Al-Sya’tha, Ismail bin Suma’i, Al-Yaman bin Rabab, Tsa’labi, Baihasi, Abdullah bin Yazid, Muhammad bin Harb, Yahya bin Kamil, Imran bin Hiththan, Habib bin Murrah, Al-Dahhak bin Qais, Jahm bin Shafwan, Abu Marwan bin Ghailan bin Muslim.[17]

Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Asy-syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris Jabariyah disebut fatalism atau presdetination yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh qhada dan qhadarnya Tuhan.[18]
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologo Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh pendiri aliran Jamiyah dalam kalangan Murjiah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayyah. Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah ada yang mengatakan kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab Qurra dan Agama Kristen bermadzhab Yakobit.
Para Pemuka Jabariyah Dan Dokrin-Dokrinnya
Menurut Asy-Syahratsani Jabariyah dapat dikelompokan menjadi 2 bagian, ekstrim dan moderat. Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
a.    Jahm bin Shofwan (Abu Mahrus Jahm bin Shofwan)
Ia berasal dari Khurasan. Menjabat sebagai Sekretaris Harist bin Surais, seorang mawali (orang yang memerdekakan/yang dimerdekakan) yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1.    Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak dan tidak mempunyai pilihan.
2.    Surga dan Neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.    Imam adalah ma’ruf membenarkan dalama hati.
4.    Kalam Tuhan adalah makhluk.
b.    Ja’ad bin Dirham
Seorang Maulana Bani Hakim. Tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Dokrin Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut:
1.    Al-Qur’an itu makhluk. Oleh karena itu ia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat di sifatkan kepada Allah.
2.    Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar.
3.    Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah
a)      An-najjar (Husain bin Muhammad An-najjar)
Pendapat-pendapatnya adalah
1.      Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ary.
2.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi An-najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b)      Adh Dhirar (Dhirar bin Amr)

Qadariyah berasal dari bahsa Arab yaitu Qadara yaitu kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi (tidak di paksa ) oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya, ia dapat melakukan sesuatu atau meninggalkan perbuatan atas kehendaknya sendiri.
Menurut Ahmad Amin seorang ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan Al basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator dari Damaskus dan ayahnya menjadi Maulana Usman bin Afan.
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dokrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa “Segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri baik berbuat baik maupun jahat.” Oleh karena itu ia berhak mendapat pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula mendapat dosa atas perbuatan buruk yang ia lakukan.
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung dokrin ini di antaranya dalam surat Al-Kahfi [18] : 29
Tokoh Tokoh Aliran Qadariyah
1.      Ma’bad Al Jauhani
2.      Ghailan ad-Dhimasyqy
3.      Hasan Al basri

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri yang berarti juga menjauh dan menjauhkan diri.  Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yamg berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
1.    At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya Yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[19]
2.    Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik.
3.    Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.[20]
4.    Al-Manzilah bain al-manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni oleh Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (Pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
5.    Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar.

Merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para sejarawan mengatakan bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas merupakan perintis gerakan ini. Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. yang senantiasa memelihara Sunnah-sunnah Rasul. Bahkan ketika terjadi perebutan kekuassaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dengan Muawiyah, kedua Abdullah itu tidak tertarik pada perselisihan. Mereka lebih memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam ibadah-ibadah yang ketat kepada Allah SWT. Sikap moderat itu kemudian menjadi ciri khas dari teologi Ahlu Sunnah Wal Jamaah.[21]
Mereka yang disebut Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengakui Nabi Muhammad adalah Rasul Allah, mengakui para pemimpin Islam Khulafa Ar-Rasyidin dan berpegang teguh pada Al-qur’an dan Sunnah. Generasi pertama Ahlu Sunnah adalah para Sahabat Rasul, tabi’in dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan salaf. 
Keberadaan Ahlu Sunnah mulai kelihatan pengaruhnya setelah mendapat dukungan dari kekuasaan Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Mu’tashim yang tidak ketat dalam soal aliran teologi.
Ahlu Sunnah menetapkan sumber pengambilan hukum didasarkan pada Al-qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Seseorang belum dikatakan Muslim bila belum menjalankan rukun Islam yang lima, yaitu Shahadah, Shalat (lima waktu), puasa (Ramadhan), zakat dan Haji (bagi yang mampu). Adapun dalam hal iman sesorang dikatakan beriman apabila meyakini Allah adalah Tuhannya, iman kepada Malaikat-malaikatnya, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha dan qhadar.
Sejarah mencatat bahwa aliran ini terpecah menjadi dua golongan. Pertama adalah golongan salafiyah yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun yang menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al-qur’an secara tekstual, menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama yang menafsirkan Al-Qur’an secara batiniyah, menyalahkan pendapat fuqaha apabila tidak sesuai, dan memberantas praktik-praktik yang tidak sejalan dengan Al-qur’an dan Sunnah. [22]



Kedua adalah golongan Khalaf yang diwakili oleh Al-Baqilani dan Al-Juwaini. Golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan bersifat toleran terhadap kalangan sufi. Bidang fiqih merujuk pada empat madzhab fiqih dan hadits menggunakan riwayat-riwayat dari Al-Kuttub Al-Sittah, yang meliputi Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.[23]
                                                                                               

KESIMPULAN

Dari penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa :
1.      Madzhab sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi SAW. dimana dimasa itu seluruh umat Islam mengikuti dan mencontoh apa yang dijelaskan oleh beliau.
2.      Munculnya madzhab-madzab besar seperti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali dipengaruhi beberapa faktor yaitu bertambah luasnya wilayah Islam pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab ra., sehingga banyak para sahabat dan fuqaha yang dikirim ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Merekapun juga memiliki sistem tersendiri dalam menyampaikan ajaran Islam yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan setempat.
3.      Para Imam Madzhab memiliki hubungan guru dan murid. Seperti Abu Hanifah adalah guru dari Imam Malik, dan Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik dan beliau juga berguru kepada murid dari Abu Hanifah. Sedangkan Ahmad Hanbal adalah murid Imam Syafi’i dan juga pernah berguru kepada murid dari Abu Hanifah dan Imam Maliki. Sehingga kita dapat mengetahui mengapa ada beberapa perbedaan dalam penetapan hukum dari masing-masing madzhab.
4.      Munculnya aliran teologi Islam diawali dari perang Siffin yang kemudian melahirkan berbagai aliran teologi Islam, seperti Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Ahlu Sunnah dan sebagainya.
5.      Setiap aliran memiliki metode tersendiri dalam penentuan suatu hukum maupun ajaran Islam. Akan tetapi mereka semua meyakini bahwa Allah SWT. adalah Tuhan seluruh mahkluk, dan Nabi Muhammad SAW. Rasul Allah.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Jabbar bin Ahmad, Abd. 1965. Syarh Al-Ushul Al-Khamsah-Maktab Wahbah. Kairo.
Rozak, Abdul. Rosihan Anwar. 2011. ilmu Kalam. CV PUSTAKA SETIA.
Sahidin, Ahmad. 2009. Aliran-aliran dalam Islam. Bandung: Salamadani Publishing.
Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, Teungku. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Sarwat, Ahmad. 2012. Mengenal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. diakses dari http://kabarislamia.com.
Fidya, Avilia. 2014. Pemikiran Abu Hanifah dalam Ekonomi Islam. diakses dari http://avierahman.blogspot.in.
Ningsih, Utami. 2009. Tokoh Ekonomi IslamMalik bin Anas. di akses dari http://utaminingsih96.blogspot.com.


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 99.
[2] Ibid., hal. 100.
[3] Ibid., hal. 101.
[4] Ahmad Sarwat, Mengenal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali, diakses dari http://kabarislamia.com pada Minggu, 20 September 2015 pukul 22:53 wib.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, op.cit. hal. 117
[6] Avilia Fidya, Pemikiran Abu Hanifah dalam Ekonomi Islam, diakses dari http://avierahman.blogspot.in pada Minggu, 20 September 2015 pukul 23:23 wib.
[7] Ahmad Sarwat, op. cit.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, op. cit. hal. 121.
[9] Utami Ningsih, Tokoh Ekonomi IslamMalik bin Anas, di akses dari http://utaminingsih96.blogspot.com pada Senin, 21 September 2015 pukul 00:03 wib.
[10] Ahmad Sarwat, op. cit.
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, op. cit. hal. 123-124.

[12] Ahmad Sarwat, op. cit.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, op. cit. hal. 126.
[14] Ahmad Sahidin, Aliran-aliran dalam Islam, (Bandung: Salamadani Publishing, 2009), hal. 16.
[15] Ibid. loc. cit.
[16] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, ilmu Kalam, (CV PUSTAKA SETIA, 2011). hlm 51.
[17] Ibid.,hal. 69.
[18]Ibid. hal. 67.
[19] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, (Kairo: 1965), Hal.196
[20] Ibid. Hal.138-139
[21] Ahmad Sahidin, op. cit. hal. 47.
[22] Ibid., hal. 49-50.
[23] Ibid., loc. cit.

0 comments :

Post a Comment