Madzhab dan Aliran Teologi Islam
Oleh: 1. Nur Habib Fauzi
2. Mita Husnurosyida
Islam
adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. sebagai agama yang rahmatal
lil’alamin. Al-qur’an adalah kitab yang telah dikodifikasi dari semua wahyu
Allah SWT yang di berikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril
selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Al-qur’an berisi petunjuk bagi umat
manusia dalam setiap aktivitas hidupnya.
Pada
masa Rasulullah SAW. masih hidup, setiap permasalahan yang timbul dan belum
jelas diterangkan dalam Al-qur’an, para sahabat langsung menanyakan perihal
tersebut kepada beliau. Yang kemudian para sahabat menyebutnya dengan
As-Sunnah, yang berisi perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) dan ketetapan
atau penegasan (ta’lifiyah) Nabi Muhammad SAW. dalam setiap tindakannya. Dari
pada itu, sebenarnya sudah jelas bahwa, madzhab yang pertama adalah madzhab
Nabi Muhammad SAW. karena seluruh umat Islam dimasa itu langsung dan mengikuti
apa yang Nabi perintahkan atau contohkan.
Sesudah
Rasul wafat, semakin tampak jelas mulainya ada madzab-madzhab dikalangan
masyarakat. Mulai dari perbedaan pendapat yang timbul dalam setiap
permasalahan.
Perbedaan
pendapat itu, semakin lama, seiring berjalannya waktu bertambah jelas. Mulai
dari bidang amaliyah, permulaan perselisihan mereka ialah dalam hal
pemerintahan. Khalifah Abu Bakar ra. Dan Umar ra. berusaha supaya tidak terjadi
ikhtilaf dalam bidang hukum, namun terjadi juga. Akan tetapi perselisihan
dikalangan sahabat itu menjadi awal lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari.[1]
Pada
masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra. Daerah wilayah daulah Islam semakin
luas. Hal ini membuat tersebarnya para sahabat dan tabi’in di berbagai kota
untuk menjadi hakim dan mufti. Meskipun dikala itu masyarakat sudah mempunyai
kebudayaan lain kebudayaan yang mempengaruhi, akan tetapi para fuqaha dapat
juga memberi pengaruh baru. Karena itu
dapat kita lihat bahwa ada dua penyebab yang mempengaruhi perkembangan fiqh di
daerah-daerah itu. Pertama lingkungan dan kedua adalah sistem yang dipakai
dalam memberikan dan membentuk hukum. Kota-kota yang didiami para sahabat itu
merupakan suatu madrasah yang mempunyai corak sendiri. Madrasah itu pada nyatanya
memiliki dua corak yang berbeda, antara lain:[2]
1. Madrasah
Hadits, yang sifatnya membatasi diri dengan sekedar yang ada di dalam nash.
Panji-panji madrasah hadits dipegang oleh ulama dari Hijaz, terutama oleh
ulama-ulama Madinah, meskipun ada juga diantara mereka yang menggunakan Ra’yu.
2. Madrasah
Ra’yu, yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illat-illat kausalita
hukum. Panji madrasah ini dipegang oleh ulama Irak, teristimewa ulama Kufah.
Para
fuqaha sering sepakat memberikan fatwa terhadap permasalahn yang belum ada
nashnya. Tidak semua permasalahan yang tidak ada nashnya mereka memberikan kata
sepakat dalam penentuan hukum. Dari itu, tidak menjadi kewajiban bagi
masyarakat untuk mengikuti ketentuan yang tidak menemukan suatu kesepakatan
yang sama.
Pendapat-pendapat
para sahabat itu, dinukilkan oleh murid-muridnya tapi tidak disebarluaskan
kepada masyarakat dan tidak dicampur dengan pendapat lain. Karena madzhab
mereka adalah madzhab fardi. Sesudah masa para sahabat berlalu. Para fuqaha
membukukan pendapat para guru-guru mereka sebagai suatu himpunan dan kemudian
mereka sebarluaskan kepada masyarakat. Sehingga membentuk suatu madzhab Jamai,
seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan lain sebagainya.
Pendiri Madzhab
ini adalah Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuta Ibn Mahan at-Taymi lebih dikenal Abu
Hanifah. Beliau lahir di Kuffah, Irak pada 80 H/699 M dan meninggal di Baghdad,
Irak pada 148 H/767 M. Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah
Sahabat Nabi, karena beliau pernah bertemu dengan salah seorang Sahabat bernama
Anas Ibn Malik, dan meriwayatkan Hadist darinya serta Sahabat lainnya.[4]
Di antara Abu
Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan Hasan Ibn Ziyad.
Mereka bersama-sama dengan Abu Hanifah membentuk Madzhab Hanafi pada permulaan
abad ke-2 Hijriah. Abu Hanifah mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam
menggunakan mantiq dan menetapkan hukum syara’ dengan qiyas dan istihsan.
Dasar-dasar madzhab Abu
Hanifah[5]
Abu Hanifah adalah seorang imam yang
terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan. Ia mempergunakan qiyas dan istihsan
apabila beliau tidak memperoleh nash dalam kitabullah, sunnatur rosul atau
ijma’. Dengan memperhatikan cara-cara yang ditempuh Abu Hanifah untuk
beristinbath, nyatalah bahwa hukum-hukum fiqh dalam madzhabnya ialah Al-Qur’an.
As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan.
Pemikiran
Abu Hanifah tentang Ekonomi Islam[6]
1. Salam
(QS. Al-Baqoroh : 282 - Qiyas)
Konsep salam menurut Abu Hanifah
yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara pihak penjual dan pembeli sepakat
bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar tunai pada waktu kontrak
disepakati. Abu Hanifah mengkritik kontrak tersebut yang cenderung mengarah
kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar terlebih
dahulu, dengan orang yang memberikan barang. Beliau mencoba menghilangkan
perselisihan ini dengan memperinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak.
2. Murabahah
(QS. Al-Baqoroh : 275)
Untuk menghilangkan ambiguitas dan
perselisihan dalam bertransaksi beliau memberikan contoh murabahah dalam hal
jual beli. Murabahah yaitu penjualan dengan suatu presentase kenaikan harga
yang disepakati terhadap harga pembelian pembayaran yang diangsur. Pengalaman
Abu Hanifah di bidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme
yang lebih adil dalam transaksi ini dan transaksi sejenis.
3. Muzara’ah
Abu Hanifah sangat perhatian pada
orang-orang lemah. Abu Hanifah membebaskan kewajiban membayar zakat bagi
pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian panen
(muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah tidak
menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang
umumnya orang lemah. Dasar Abu Hanifah membolehkan hal tersebut berdasarkan
hadits yang artinya “dari Ibn Umar, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW,
memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah berupa sebagian dari buah atau
tanaman yang dhasilkan.” (HR. Bukhari).
Malik Ibn Anas Ibn
Amr Al Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Amr,
Al Imam, Abu Abd Allah Al Humyari Asbahi Al Madani). Lahir di Hijaz, Madinah
pada tahun 93 H/714 M dan meninggal pada tahun 179 H / 800 M.[7]
Kota Madinah
adalah Darul Hijrah tempat Nabi Muhammad SAW berdiam sesudah hijrah dari
Mekkah. Kota inilah yang menjadi pusat ahli hadits dan tempat kelahiran Imam
Malik. Beliau yang terkenal sebagai pemuka Fiqh di daerah Hijaz dan menjadi
guru As-Syafi’i. Malik mempelajari Fiqh dari Rabi’ah Ibn Abdir Rohman dan
mempelajari hadits dari Navi’, Az Zuhri, Abi Zinad, Yahya Ibn Sa’id Al-Anshari.
Beliau menyusun sebuah hadits yang dinamai Al-Muattaq. Disusun secara
kitab Fiqh, isi kitabnya disepakati oleh para ulama.
Dasar-dasar
madzhab Maliki[8]
Al-Qodli Iyadl dalam kitab Al Madarik
berkata “Malik mendahulukan Kitabullah menurut tertib terang samarnya. Yakni
beliau mendahulukan nash, kemudian yang dhahir, kemudian yang mafhum. Setelah
itu beliau berpegang pada As-Sunnah, kemudian Ijma’ baru kemudian Qiyas”. Dalam
pada itu Malik tidak memberi pada Qiyas kedudukan yang diberikan oleh Abu
Hanifah.
Pemikiran Imam Malik
dalam Ekonomi Islam[9]
1. Bahwa
penguasa mempunyai tanggungjawab untuk menyejahterakan rakyat, memenuhi
kebutuhan rakyat seperti halnya yang juga dilakukan oleh Umar Ibn Khattab.
2. Menerapkan
prinsip/azas al-Maslahah, al-Mursalah. Al-Maslahah dapat diartikan sebagai azas
manfaat (benefit), kegunaan (utility), yaitu sesuatu yang memberi manfaat baik
kepada individu maupun kepada masyarakat banyak. Sedangkan prinsip al-Mursalah
apat diartikan sebagai prinsip kebebasan, tidak terbatas atau tidak terikat.
Dua
elemen yang terdapat dalam metode Imam Malik menunjukkan bahwa ia mengakui hak
Negara Islam untuk memungut pajak demi memenuhi kebutuha bersama.
Abu Addullah
Muhammad Ibn Idris al-Shafi’I atau Muhamma Ibn Idris Asy-Syafi’I yang akrab
dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H/767 M, meninggal di Fushat,
Mesir pada 204 H/819 M.adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri
madzhab Syafi’i. Imam Syafi’I juga tergolong kerabat Rasulullah, ia termasuk
dalam Bani Muthalib, saudara Hasyim yang merupakan kakek Nabi Muhammad SAW.[10]
Saat berusia 20
tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Dua tahun
kemudian beliau pergi untuk berguru kepada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Di dalam Ar-Risalah beliau
menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang dipeganginya, ialah:
a. Al-Qur’an
menurut dhahirnya.
b. As-Sunnah
walaupun ahad.
c. Ijma’,
dan
d. Qiyas.
Asy-Syafi’i
telah dapat mengumpulkan antara tharikat ahlul hadits dengan tharikat ahlur
Ra’yi. Lantaran itu menjadilah madzhabnya tidak terlalu cenderung kepada ahlul
hadits dan tidak cenderung kepada ahlur Ra’yi.
Beliau adalah Abu
Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah adz-Dzuhli Asy-Syabaniy. Nasab beliau betemu dengan
nasab Nabi pada Nizar bin Ma’d bin Adnan. Yang berarti bertemu pula dengan
nasab Nabi Ibrahim.[12]
Beliau dilahirkan
di kota Baghdad pada tahun 164 H. Di sana tinggal para Qari’, ahli Hadits, para
sufi, ahli Bahasa, filosof, dan sebagainya. Ahmad Hambal telah menghafal
Al-qur’an pada usia 14 tahun, dan melanjutkan pencarian ilmunya di ad-Diwan.
Beliau mempelajari hadits-hadits dengan mencari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
Al-Qadhi Abu Yusuf, murid atau rekan Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 186 H
beliau pergi ke Hijaz untuk berguru kepada Imam AS-Syafi’i. beliau menyusun
kitabnya yang terkenal Al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar 60 tahun.
Dasar-dasarMadzhab
Hambali[13]
Madzhab ini didasarkan pada:
1. Nash
Al-qur’an atau nash As-Sunnah.
2. Fatwa
Shahabi, apabila tidak memperoleh nash.
3. Pendapat
sebagian sahabat.
4. Hadits
mursal atau hadits dhaif, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau
dengan pendapat seseorang sahabat.
5. Qiyas.
Munculnya
aliran-aliran teologi dalam Islam dimulai setelah Rasulullah SAW. wafat. Ketika
itu, terjadi perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam menentukan
siapakah yang akan menjadi Khalifah Umat Islam. Datanglah Abu Bakar ra. dan
Umar ra. Untuk meredam perselisihan itu,
yang kemudian Umar Ibn Khattab ra. mendelegasikan Abu Bakar ra. untuk menjadi Khalifah dan disepakati oleh
kaum Anshar dan Muhajirin.
Masa pemerintahan
Abu Bakar ra. tidak berjalan mulus begitu saja. Beliau menghadapi banyak
peperangan. Yang kemudian sampai akhir hayatnya beliau meninggal karena sakit,
dan mengutus Umar Ibn Khattab ra. Untuk menggantikannya.
Setelah menjadi
khalifah, Umar ra. banyak melakukan peperangan demi memperluas penyebaran
ajaran agama Islam. Beliau sering menggunakan Ijtihad dalam menyelesaikan
permaslahan-permasalahan yang belum jelas dalam nash. Sebelum Umar ra. Wafat, beliau
mendelegasikan Usman Ibn Affan ra. dan Abdurrahman Ibn Auf untuk dipilih satu
dari mereka sebagai penggantinya menjadi Khalifah (Amirul Mukminin). Beliau
mendelegasikan mereka untuk menghindari terjadinya perpecahan dikalangan umat
Islam.
Terpilihlah Utsman
Ibn Affan ra. sebagai Khalifah baru. Masa pemerintahan Utsman ra. juga
mengalami banyak kritikan, meskipun pada masa beliau juga banyak
kemajuan-kemajuan seperti halnya pengkodifikasian Al-Qur’an yang kemudian
sampai saat ini kita mengenal musaf Utsmani. Pada masa pemerintahannya, Utsman
ra. banyak memasukkan anggota keluarganya untuk masuk kedalam roda
pemerintahan, sehingga memicu terjadinya pemberontakan terhadapnya.
Pemberontakan tersebut mengakibatkan meninggalnya Utsman Ibn Affan ra.
Setelah Utsman ra.
wafat, terpilihlah Ali Ibn Abi Thalib sebagai Khalifah. Pada masa ini, juga
terjadi banyak pemberontakan yang didasari atas kasus pembunuhan Utsman Ibn
Affan ra. yang kemudian memicu terjadinya perang saudara, yaitu perang Siffin.
Dalam perang tersebutlah yang menjadi awal munculnya aliran-aliran teologi
Islam.
Istilah Syi’ah
melekat pada mereka yang mengakui Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi
khalifah Islam dari pada sahabat yang lain setelah Rasulullah SAW.[14]
Mengenai lahirnya
Syi’ah terdapat dua pendapat dikalangan para ulama. Pendapat pertama
beranggapan bahwa syi’ah muncul sejak Rasululah SAW. wafat. Kalangan muslim
yang tidak mengakui Khalifah Abu Bakar ra. dianggap sebagai Syi’ah. Mereka yang
termasuk kelompok ini adalah Ali Bin Abi Thalib ra., Fatimah Az-Zahra, Hasan
bin Ali, Husain bin Ali, Abu Dzar, Ammar bin Yassir, Miqdad bin Al-Aswad, Malik
Asytar, dan beberapa budak Muslim. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa Syi’ah
lahir setelah perang Siffin. [15]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah
a. At-Tauhid
Kaum Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT.
itu Esa, tempat bergantung semua mahkluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat,yaitu al-tsubutiyah yang merupakan
sifat yang harus ada pada Allah SWT. sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui),
qadir (berkuasa), hay (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik), qadim
azalu baq, mutakalim dan shiddiq. Sedang sifat yang kedua adalah al-salbiyah
yang merupakan sifat yang tidak mungkin dimiliki Allah SWT.
b. Al-‘adl
Bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil.
Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim. Allah tidak melakukan sesuatu
kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia.
c. An-Nubuwwah
d. Al-Imamah
e. Al-Ma’ad
Kata
khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang
berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut Harun Nasution ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa nama khawarij diberikan atas surat an-Nisa
ayat 100 yang didalamnya disebutkan : “Keluar dari rumah lari kepada Allah
dan Rasul-Nya”.
Dengan
demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan
rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya.
Selain itu mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyiri
(Menjual), sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqoroh ayat 207 : “Ada manusia
yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah”. Nama lain yang diberikan
kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura, suatu desa di dekat Kufah,
Irak. Di tempat inilah, mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu
orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih
‘Abdullah Ibn Abdul Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin
Abi Thalib. Dalam pertempuran dengan Ali mereka mengalami kekalahan besar.
Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan memberontak
terhadap Ali bin Abi Thalib setelah terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah. Pada mulanya, kelompok ini berjuang di pihak Ali ketika terjadi
perang Siffin antara Ali dan Muawiayah dan kelompok inilah yang mendukung Ali
untuk melakukan arbitrase dengan Muawiyah. Namun setelah Ali dan Muawiyah
melakukan arbitrase, kelompok ini menolak kesepakatan arbitrase dan keluar dari
kelompok Ali.
Sebelumnya,
menurut sebagian pendapat, Ali sebenarnya mencium adanya tipu daya dibalik
ajakan perundingan damai tersebut sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu.
Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama Ahl-Qurra. Dengan sangat
terpaksa Ali menerima permintaan perjanjian damai tersebut. Dalam perundingan
damai tersebut, Ali mengutus Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai
(Hakam)nya, tetapi orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah
bin Abbas berasal dari kelompoknya Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan
agar Ali mengirim Abu Musa al Asy’ary dengan harapan yang dapat memutuskan
perkara berdasarkan Kitabullah. Keputusan tahkim menurut riwayat, yakni Ali
diberhentikan jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat
Muawiyah sebagai Khalifah sangat mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka
membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia, Tidak
ada hukum selain hukum disisi Allah.”
Ali r.a menjawab “Ini adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka
artikan dengan keliru.” Pada saat itulah orang-orang Khawarij keluar dari
pasukan Ali r.a dan menuju Harura. Itulah sebabnya, Khawarij disebut sebagai Haruriah.
Dengan Arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura.
Di
Harura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan terhadap Muawiyah dan juga
kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab
Ar-Rasyibi. Kadang-kadang mereka disebut
dengan Syurah dan Al Mariqoh.
Pokok-pokok Ajaran
Khawarij[16]
1. Khalifah
tidak harus berasal dari keturunan Arab dan harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat Islam.
2. Khalifah
sebelum Ali adalah sah. Tetapi
setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya dianggap telah menyeleweng.
3. Muawiyah
dan Amr bin Ash serta Abu musa Al-As’ari dan pasukan perang Jamal yang melawan
Ali juga telah di anggap menyeleweng dan
kafir.
4. Seseorang
yang berdosa besar tidak lagi di sebut muslim
sehingga harus di bunuh. Yang sangat anarkis lagi mereka memenganggap seorang muslim dapat menjadi
kafir apabila ia tidak
mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung
beban harus di lenyapkan pula.
5. Setiap
muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka bila tidak
bergabung maka wajib di perangi.
6. Al-Qur’an
adalah mahluk (bukan qadim)
Manusia bebas memutuskan perbuatannya
sendiri bukan dari Tuhan.
Tokoh-tokoh
khawarij antara lain Ikrimah, Abu Harun Al-Abdi, Abu Al-Sya’tha, Ismail bin Suma’i,
Al-Yaman bin Rabab, Tsa’labi, Baihasi, Abdullah bin Yazid, Muhammad bin Harb,
Yahya bin Kamil, Imran bin Hiththan, Habib bin Murrah, Al-Dahhak bin Qais, Jahm
bin Shafwan, Abu Marwan bin Ghailan bin Muslim.[17]
Jabariyah berasal
dari kata jabara yang berarti
memaksa. Di dalam Al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Asy-syahratsani
menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam
arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris Jabariyah
disebut fatalism atau presdetination yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia
telah ditentukan semula oleh qhada dan qhadarnya Tuhan.[18]
Paham al-jabar pertama
kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin
Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologo Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh
pendiri aliran Jamiyah dalam kalangan Murjiah. Ia adalah sekretaris Suraih bin
Al Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayyah.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah ada yang mengatakan kemunculannya
diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab
Qurra dan Agama Kristen bermadzhab Yakobit.
Para Pemuka Jabariyah Dan
Dokrin-Dokrinnya
Menurut Asy-Syahratsani Jabariyah
dapat dikelompokan menjadi 2 bagian, ekstrim dan moderat. Diantara pemuka Jabariyah
ekstrim adalah sebagai berikut:
a. Jahm
bin Shofwan (Abu Mahrus Jahm bin Shofwan)
Ia berasal dari Khurasan. Menjabat
sebagai Sekretaris Harist bin Surais, seorang mawali (orang yang memerdekakan/yang dimerdekakan) yang
menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh
secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Pendapat Jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1. Manusia
tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
dan tidak mempunyai pilihan.
2. Surga
dan Neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Imam
adalah ma’ruf membenarkan dalama hati.
4. Kalam
Tuhan adalah makhluk.
b. Ja’ad
bin Dirham
Seorang Maulana Bani Hakim. Tinggal
di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan
teologi. Dokrin Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghurabi
menjelaskannya sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an itu
makhluk. Oleh karena itu ia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat di sifatkan
kepada Allah.
2.
Allah tidak mempunyai
sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar.
3.
Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat
mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan
jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah
a) An-najjar
(Husain bin Muhammad An-najjar)
Pendapat-pendapatnya adalah
1. Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam
teori Al-Asy’ary.
2. Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi An-najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
b) Adh
Dhirar (Dhirar bin Amr)
Qadariyah berasal
dari bahsa Arab yaitu Qadara yaitu kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut
pengertian terminologi Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak di intervensi (tidak di paksa ) oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya, ia dapat
melakukan sesuatu atau meninggalkan perbuatan atas kehendaknya sendiri.
Menurut Ahmad Amin
seorang ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i
yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan Al basri. Adapun Ghailan
adalah seorang orator dari Damaskus dan ayahnya menjadi Maulana Usman bin Afan.
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dokrin Qadariyah
pada dasarnya menyatakan bahwa “Segala
tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri baik
berbuat baik maupun jahat.” Oleh karena itu ia berhak mendapat pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula mendapat dosa atas perbuatan buruk
yang ia lakukan.
Qadariyah
berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat
mendukung dokrin ini di antaranya dalam surat Al-Kahfi [18] : 29
Tokoh Tokoh Aliran Qadariyah
1. Ma’bad
Al Jauhani
2. Ghailan
ad-Dhimasyqy
3. Hasan
Al basri
Secara harfiah
kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri yang berarti juga menjauh dan menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan
pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Mu’awiyyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan
inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah
yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan
kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yamg berkembang dikalangan Khawarij
dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama
lain seperti ahl al-adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan
keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Lima
Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
1.
At-Tauhid
At-Tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab
teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus
disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya.
Tuhanlah satu-satunya Yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang
menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud
al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[19]
2.
Al-Adl
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan.
Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam
semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang
adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah)
dan terbaik (al-ashlah), dan bukan
yang tidak baik.
3.
Al-Wa’d
wa al-Wa’id
Ajaran
ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan
ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar
janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahala surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka
atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada
orang yang bertobat nasuha pasti
benar adanya.[20]
4.
Al-Manzilah
bain al-manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.
Seperti yang tercatat dalam sejarah, Khawarij
menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah
berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan
kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni oleh Tuhan. Adapun pendapat
Wasil bin Ata (Pendiri mazhab Mu’tazilah)
lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena
ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan
diri (I’tizal) dari majelis gurunya,
Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
5.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi
munkar.
Merupakan madzhab
terbesar yang dianut oleh umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para
sejarawan mengatakan bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas merupakan perintis
gerakan ini. Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. yang
senantiasa memelihara Sunnah-sunnah Rasul. Bahkan ketika terjadi perebutan
kekuassaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dengan Muawiyah, kedua Abdullah
itu tidak tertarik pada perselisihan. Mereka lebih memilih hidup zuhud dan
memfokuskan diri dalam ibadah-ibadah yang ketat kepada Allah SWT. Sikap moderat
itu kemudian menjadi ciri khas dari teologi Ahlu Sunnah Wal Jamaah.[21]
Mereka yang
disebut Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengakui Nabi Muhammad adalah Rasul
Allah, mengakui para pemimpin Islam Khulafa Ar-Rasyidin dan berpegang teguh
pada Al-qur’an dan Sunnah. Generasi pertama Ahlu Sunnah adalah para Sahabat
Rasul, tabi’in dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan salaf.
Keberadaan Ahlu
Sunnah mulai kelihatan pengaruhnya setelah mendapat dukungan dari kekuasaan
Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Mu’tashim yang tidak ketat dalam soal
aliran teologi.
Ahlu Sunnah
menetapkan sumber pengambilan hukum didasarkan pada Al-qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Seseorang belum dikatakan Muslim bila belum menjalankan rukun Islam
yang lima, yaitu Shahadah, Shalat (lima waktu), puasa (Ramadhan), zakat dan
Haji (bagi yang mampu). Adapun dalam hal iman sesorang dikatakan beriman
apabila meyakini Allah adalah Tuhannya, iman kepada Malaikat-malaikatnya, iman
kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul Allah, iman kepada hari
akhir dan iman kepada qadha dan qhadar.
Sejarah mencatat
bahwa aliran ini terpecah menjadi dua golongan. Pertama adalah golongan
salafiyah yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Ibn
Taimiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun yang
menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al-qur’an secara tekstual, menolak
ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama
yang menafsirkan Al-Qur’an secara batiniyah, menyalahkan pendapat fuqaha
apabila tidak sesuai, dan memberantas praktik-praktik yang tidak sejalan dengan
Al-qur’an dan Sunnah.
[22]
Kedua adalah
golongan Khalaf yang diwakili oleh Al-Baqilani dan Al-Juwaini. Golongan ini
masih bisa menerima ta’wil dan bersifat toleran terhadap kalangan sufi. Bidang
fiqih merujuk pada empat madzhab fiqih dan hadits menggunakan riwayat-riwayat
dari Al-Kuttub Al-Sittah, yang meliputi Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu
Dawud, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.[23]
KESIMPULAN
Dari penjabaran diatas dapat kita
simpulkan bahwa :
1.
Madzhab sebenarnya
sudah ada sejak masa Nabi SAW. dimana dimasa itu seluruh umat Islam mengikuti
dan mencontoh apa yang dijelaskan oleh beliau.
2.
Munculnya
madzhab-madzab besar seperti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i,
dan Madzhab Hanbali dipengaruhi beberapa faktor yaitu bertambah luasnya wilayah
Islam pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab ra., sehingga banyak para sahabat dan
fuqaha yang dikirim ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Merekapun
juga memiliki sistem tersendiri dalam menyampaikan ajaran Islam yang juga
dipengaruhi oleh kebudayaan setempat.
3.
Para Imam Madzhab
memiliki hubungan guru dan murid. Seperti Abu Hanifah adalah guru dari Imam
Malik, dan Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik dan beliau juga berguru
kepada murid dari Abu Hanifah. Sedangkan Ahmad Hanbal adalah murid Imam Syafi’i
dan juga pernah berguru kepada murid dari Abu Hanifah dan Imam Maliki. Sehingga
kita dapat mengetahui mengapa ada beberapa perbedaan dalam penetapan hukum dari
masing-masing madzhab.
4.
Munculnya aliran
teologi Islam diawali dari perang Siffin yang kemudian melahirkan berbagai
aliran teologi Islam, seperti Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah,
Mu’tazilah, Ahlu Sunnah dan sebagainya.
5.
Setiap aliran
memiliki metode tersendiri dalam penentuan suatu hukum maupun ajaran Islam.
Akan tetapi mereka semua meyakini bahwa Allah SWT. adalah Tuhan seluruh
mahkluk, dan Nabi Muhammad SAW. Rasul Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabbar bin Ahmad, Abd. 1965. Syarh Al-Ushul Al-Khamsah-Maktab
Wahbah. Kairo.
Rozak, Abdul. Rosihan Anwar. 2011. ilmu
Kalam. CV PUSTAKA SETIA.
Sahidin, Ahmad. 2009. Aliran-aliran dalam Islam. Bandung:
Salamadani Publishing.
Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy, Teungku. 1999. Pengantar
Ilmu Fiqh. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Sarwat, Ahmad. 2012. Mengenal Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. diakses dari http://kabarislamia.com.
Fidya, Avilia. 2014. Pemikiran Abu Hanifah
dalam Ekonomi Islam. diakses dari http://avierahman.blogspot.in.
Ningsih, Utami. 2009. Tokoh Ekonomi IslamMalik bin
Anas. di akses dari http://utaminingsih96.blogspot.com.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Syiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1999), hal. 99.
[2] Ibid., hal. 100.
[3] Ibid., hal. 101.
[4] Ahmad Sarwat, Mengenal Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali, diakses dari http://kabarislamia.com pada Minggu, 20
September 2015 pukul 22:53 wib.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Syiddieqy,
op.cit. hal. 117
[6] Avilia Fidya, Pemikiran Abu
Hanifah dalam Ekonomi Islam, diakses dari http://avierahman.blogspot.in pada
Minggu, 20 September 2015 pukul 23:23 wib.
[7] Ahmad Sarwat, op. cit.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Syiddieqy, op. cit. hal. 121.
[9] Utami Ningsih, Tokoh Ekonomi
IslamMalik bin Anas, di akses dari http://utaminingsih96.blogspot.com
pada Senin, 21 September 2015 pukul 00:03 wib.
[10] Ahmad Sarwat, op. cit.
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Syiddieqy, op. cit. hal. 123-124.
[12] Ahmad Sarwat, op. cit.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Syiddieqy, op. cit. hal. 126.
[14] Ahmad Sahidin, Aliran-aliran
dalam Islam, (Bandung: Salamadani Publishing, 2009), hal. 16.
[15] Ibid. loc. cit.
[17] Ibid.,hal. 69.
[19] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab
Wahbah, (Kairo: 1965), Hal.196
[20] Ibid. Hal.138-139
[21] Ahmad Sahidin, op. cit. hal. 47.
[22] Ibid., hal. 49-50.
[23] Ibid., loc. cit.
0 comments :
Post a Comment