Sadd Al-Dzari'ah dan Istishab

Wednesday, December 30, 2015

Sadd Al-Dzari'ah dan Istishab


Sadd Al-Dzari'ah dan Istishab
Menurut Pandangan Para Ulama Madzhab
Oleh: Nur Habib Fauzi

Sadd Al-Dzariah diartikan sebagai upaya para mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. larangan ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.[1]
Sadd Al-Dzari’ah terdiri dari dua perkataan, yaitu Sadd dan Dzari’ah. Sadd berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang Dzari’ah berarti  jalan. Maksudnya adalah menghambat atau menghalangi semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[2]

Telah terjadi perbedaan pendapat bagi para ulama Madzhab mengenai kedudukan Sadd Al-Dzari’ah apakah dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau tidak. Malik bin Annas dan Ahmad bin Hanbal keduanya menerima Saad Al-Dzari’ah sebegai sumber hukum. As-Syafi’i dan Abu Hanifah keduanya menerima Sadd Al-Dzari’ah pada kasus-kasus tertentu. Golongan Ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu Hazm menolak sama sekali bahwa Sadd Al-Dzari’ah bukanlah Hujjah Syar’iyyah.
Adapun golongan yang menerima Sadd Al-Dzari’ah sebagai sumber hukum, berdasarkan argument sebagai berikut:[3]
a.       Dalam Qs. Al-Baqarah: 104 dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata ra’ina, suatu ucapan yang biasa digunakan orang yahudi sebagai ucapan penghinaan terhadap Nabi saw. larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan membawa mafsadah, yaitu tindakan mencela Nabi saw. pesan ayat ini mengarah pada urgensi Sadd Al-Dzari’ah.
b.      Dalam Qs. Al-A’raf: 163 dinyatakan bahwa kaum bani Israil dilarang mendekati dan mengambil ikan-ikan yang terapung di permukaan air laut pada hari sabtu (hari khusus beribadah bagi mereka). Larangan itu didasarkan pada kenyakinan bahwa mendekati dan mengambil ikan-ikan akan membawa mafsadah, yakni mereka akan meninggalkan kewajiban beribadah pada hari khusus tersebut.
c.       Hadist Nabi

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ اِلىَ مَالَا يُرِيْبُكَ
“Beralihlah dari hal yang meragukan pada hal yang tidak meragukan” (HR. al-Nasa’I, al-Turmudzi, dan al-Hakim)

اِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنُ وَاِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنَ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ
“Perkara yang halal itu sungguh sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas. Diantara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat)”. (HR. Al-Bkhari dan Muslim).

الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ اَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ
“Dosa adalah sesuatu yang meresahkan di dalam hati dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya”. (HR. Ahmad dan Al-Darimi).

اِنَّ مِنْ اَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَاللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ اَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ اَبَاهُ وَيَسُبُّ اُمَّهُ
“Sesungguhnya diantara dosa yang paling besar ialah (dosa dari perbuatan) seseorang yang melaknat kedua orangtuanya. Rasulullah ditanya: “Bagaimanakah bisa ya Rasulullah seseorang melaknat kedua orangtuanya?”, Rasulullah menjawab, “Ia mencela Bapak orang lain lalu orang lain itu mencela balik Bapaknya. Ia mencela Ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela balik Ibunya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

d.      Sejumlah larangan mengisyaratkan Sadd al-Dzari’ah bagi penetapan hukum antara lain, yaitu:
1.      Larangan melamar perempuan yang sedang iddah, karena perbuatan melamar demikian akan membawa kepada mafsadah, yakni menikahi perempuan yang sedang iddah (hamil).
2.      Larangan jual beli secara tunai dan tempo dalam satu akad, karena perbuatan jaul beli demikian akan membawa pada mafsadah, yakni transaksi ribawi.
3.      Larangan terhadap kreditur, menerima hadiah dari debitur, ketika debitur meminta penundaan pembeyaran hutang, karena penerimaan hadiah tersebut membawa mafsadah, yaitu transaksi ribawi.
4.      Penetapan pembunuhan ahli waris terhadap pewaris sebagai hal yang menghalangi hak kewarisan ahli waris tersebut, agar tindakan pembunuhan tersebut tidak dijadikan jalan untuk mempercepat perolehan warisan.
5.      Larangan terhadap kaum muslim (ketika masih di Mekkah, sebelum hijrah ke Madinah) membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring, larangan ini didasarkan pada pertimbangan agar kaum kafir Quraishi tidak mencela Al-Qur’an.

Golongan penolak mengemukakan argument sebagai berikut:[4]
a.    Aplikasi Sadd al-Dzari’ah sebagai dalil penetapan hukum ijtihad merupakan bentuk hukum ijtihad bi al-ra’yi yang tercela.
b.    Penetapan hukum kehalalan atau keharaman sesuatu harus didasarkan pada dalil qadh’i, tidak bisa dengan dalil dzanni, sedangkan penetapan hukum atas dasar Sadd al-Dzari’ah merupakan satu bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil dzanni. Allah swt berfirman dalam surat An-Najm: 28

وَاِنَّ اَلظَّنَّ لَايُغْنِ مِنَالْحَقِّ شَيْئًا
“Sesungguhnya dzann itu tidak memadai bagi kebenaran sedikit pun”.

Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil atau indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum, atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasaran pada suatu dalil. Demikian definisi yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Zanjani.[5]
Istishab menurut Bahasa brarti mencari sesuatu yang ada hubungannya. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan dalil itu.[6]

Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kedudukan istishab apakah dapat dijadikan hujjah syar’iyah. Perbedaan pandangan tersebut terbagi dalam dua golongan: yakni golongan penerima dan golongan penolak.
Golongan penerima yang dipelopori oleh ulama Syafi’iyah antara lain Al-Muzani, Al-Syairafi, dan Al-Ghozali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syar’iyah atau dalil bagi struktur hukum Islam. Mereka menggunakan argument sebagai berikut :[7]
a.    Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidak bolehan sholat seseorang (yang sejak semula) sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh sholat. Dengan demikian keadaan awal harus dijadikan patokan, kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku kalau belum wudhu keadaan ini pula yang berlaku. Sekiranya tidak demikian cara menetapkannya tentu akan bertentangan dengan ijma’ tersebut.
b.    Para ahli fikir dan ahli ‘urf meyakini eksistensi eksisnya sesuatu atau tidak dengan kondisi tertentu, membolehkan penetapan hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak sesuatu itu.
c.    Aturan-aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah juga berlaku bagi kita yang hidup sesudah masa beliau. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab yakni yang sudah ada tetap diakui ada sebagai mana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan alasan keterus berlakuan maka hukum syara’ pada masa Nabi tidak di taklifkan kepada kita karena ada kemungkinan peraturan tersebut telah dinasakh (dihapus).

Golongan penolak dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyah, yang menggunakan argumentasi sebagai berikut:
a.    Telah ada ijma’ bahwa keterangan atau bukti yang bersifat menetapkan harus diprioritaskan dari pada keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan yang bersifat mengingkari haruslah lebih layak untuk diprioritaskan.
b.    Eksisnya hukum pada masa berikutnya tidak ditunjukkan oleh suatu dalil dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan suatu kesia-siaan. Oleh karena itu, istishab bukan merupakan hujjah syar’iyah.
c.    Dalam fiqh madzhab Syafi’i tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang tidaklah sah secara syar’i dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu, tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan sebagai bahwa ada banyak sumber hukum Islam. Dan meskipun demikian tidak semua ulama mdzhab fiqh mengakui ataupun menggunakannya dalam menyelesaikan suatu kasus.
Sadd-Al-Dzariah merupakan suatu upaya untuk menghentikan terjadinya kemungkinan mafsadah dalam setiap perbuatan yang akan dilakukan, meskipun perbuatan itu hukumnya mubah. Ada dua golongan yang berbeda pendapat dalam hal ini, golongan pertama adalah para ulama madzhab Hanifah, Maliki, Syafi’i. mereka menggunakan Sadd Al-Dzariah dalam beberapa kasus tertentu. Sedangkan golongan yang menolak adalah sebagian ulama Zahiriyyah terutama Ibn Hazm.
Istishab merupakan suatu ketetapan atau lebih kepada sebuah penegas bagi hukum yang telah ada, sebelum adanya hukum yang baru yang menggantikan hukum yang lama. Dalam hal inipun terdapat perbedaan diantara para ulama fiqh. Golongan yang menggunakan Istishab dalam menyelesaikan masalah dipelopori oleh ulama Syafi’iyah antara lain Al-Muzani, Al-Syairafi, dan Al-Ghozali. Sedangkan golongan yang menolak dipelopori oleh mayoritas madzhab Hanafiyyah.
Memang terjadi pertentangan para ulama fiqh mengenai metode dalam penyelesaian masalah. Dari hal tersebut kita bisa membandingkan bagaimanakah cara yang terbaik dan harus kita ambil dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi.






DAFTAR PUSTAKA


Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Sinar Grafika Offest.
Muin Umar, Asymuni A. Rahman, dkk. 1986. Ushul Fiqh. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama.


[1] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2011), hal. 142.
[2] Muin Umar, Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 1986), Hal. 159-160.
[3] Asmawi, loc. cit. hal. 143-146.
[4] Ibid., hal. 146.
[5] Ibid., hal. 152.
[6] Muin Umar, Asymuni A. Rahman, dkk., loc. cit., hal. 155.
[7] Asmawi, loc. cit., hal. 153-155.

0 comments :

Post a Comment