Sadd Al-Dzari'ah dan Istishab
Sadd Al-Dzari'ah dan Istishab
Menurut Pandangan Para Ulama Madzhab
Oleh: Nur Habib Fauzi
Sadd Al-Dzariah
diartikan sebagai upaya para mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu
kasus hukum yang pada dasarnya mubah. larangan ini dimaksudkan untuk
menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.[1]
Sadd Al-Dzari’ah
terdiri dari dua perkataan, yaitu Sadd dan Dzari’ah. Sadd berarti penghalang,
hambatan atau sumbatan, sedang Dzari’ah berarti jalan. Maksudnya adalah menghambat atau
menghalangi semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[2]
Telah terjadi
perbedaan pendapat bagi para ulama Madzhab mengenai kedudukan Sadd Al-Dzari’ah
apakah dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau tidak. Malik bin Annas dan
Ahmad bin Hanbal keduanya menerima Saad Al-Dzari’ah sebegai sumber hukum.
As-Syafi’i dan Abu Hanifah keduanya menerima Sadd Al-Dzari’ah pada kasus-kasus
tertentu. Golongan Ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu Hazm menolak sama sekali
bahwa Sadd Al-Dzari’ah bukanlah Hujjah Syar’iyyah.
Adapun golongan
yang menerima Sadd Al-Dzari’ah sebagai sumber hukum, berdasarkan argument
sebagai berikut:[3]
a. Dalam
Qs. Al-Baqarah: 104 dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata ra’ina,
suatu ucapan yang biasa digunakan orang yahudi sebagai ucapan penghinaan terhadap
Nabi saw. larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan
membawa mafsadah, yaitu tindakan mencela Nabi saw. pesan ayat ini mengarah pada
urgensi Sadd Al-Dzari’ah.
b. Dalam
Qs. Al-A’raf: 163 dinyatakan bahwa kaum bani Israil dilarang mendekati dan
mengambil ikan-ikan yang terapung di permukaan air laut pada hari sabtu (hari
khusus beribadah bagi mereka). Larangan itu didasarkan pada kenyakinan bahwa
mendekati dan mengambil ikan-ikan akan membawa mafsadah, yakni mereka akan meninggalkan
kewajiban beribadah pada hari khusus tersebut.
c. Hadist
Nabi
دَعْ
مَا يُرِيْبُكَ اِلىَ مَالَا يُرِيْبُكَ
“Beralihlah dari hal yang meragukan pada
hal yang tidak meragukan” (HR. al-Nasa’I, al-Turmudzi, dan
al-Hakim)
اِنَّ
الْحَلَالَ بَيِّنُ وَاِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنَ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ
“Perkara yang halal itu
sungguh sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas. Diantara keduanya
ada perkara yang samar-samar (syubhat)”. (HR. Al-Bkhari dan
Muslim).
الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ اَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ
“Dosa adalah sesuatu yang
meresahkan di dalam hati dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya”.
(HR. Ahmad dan Al-Darimi).
اِنَّ
مِنْ اَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا
رَسُولَاللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ اَبَا
الرَّجُلِ فَيَسُبُّ اَبَاهُ وَيَسُبُّ اُمَّهُ
“Sesungguhnya diantara
dosa yang paling besar ialah (dosa dari perbuatan) seseorang yang melaknat
kedua orangtuanya. Rasulullah ditanya: “Bagaimanakah bisa ya Rasulullah
seseorang melaknat kedua orangtuanya?”, Rasulullah menjawab, “Ia mencela Bapak
orang lain lalu orang lain itu mencela balik Bapaknya. Ia mencela Ibu orang
lain, lalu orang lain itu mencela balik Ibunya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
d. Sejumlah
larangan mengisyaratkan Sadd al-Dzari’ah bagi penetapan hukum antara
lain, yaitu:
1. Larangan
melamar perempuan yang sedang iddah, karena perbuatan melamar demikian akan
membawa kepada mafsadah, yakni menikahi perempuan yang sedang iddah (hamil).
2. Larangan
jual beli secara tunai dan tempo dalam satu akad, karena perbuatan jaul beli
demikian akan membawa pada mafsadah, yakni transaksi ribawi.
3. Larangan
terhadap kreditur, menerima hadiah dari debitur, ketika debitur meminta
penundaan pembeyaran hutang, karena penerimaan hadiah tersebut membawa
mafsadah, yaitu transaksi ribawi.
4. Penetapan
pembunuhan ahli waris terhadap pewaris sebagai hal yang menghalangi hak
kewarisan ahli waris tersebut, agar tindakan pembunuhan tersebut tidak
dijadikan jalan untuk mempercepat perolehan warisan.
5. Larangan
terhadap kaum muslim (ketika masih di Mekkah, sebelum hijrah ke Madinah)
membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring, larangan ini didasarkan pada
pertimbangan agar kaum kafir Quraishi tidak mencela Al-Qur’an.
Golongan
penolak mengemukakan argument sebagai berikut:[4]
a. Aplikasi
Sadd al-Dzari’ah sebagai dalil penetapan hukum ijtihad merupakan bentuk
hukum ijtihad bi al-ra’yi yang tercela.
b. Penetapan
hukum kehalalan atau keharaman sesuatu harus didasarkan pada dalil qadh’i,
tidak bisa dengan dalil dzanni, sedangkan penetapan hukum atas dasar Sadd
al-Dzari’ah merupakan satu bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil dzanni.
Allah swt berfirman dalam surat An-Najm: 28
وَاِنَّ
اَلظَّنَّ لَايُغْنِ مِنَالْحَقِّ شَيْئًا
“Sesungguhnya dzann itu
tidak memadai bagi kebenaran sedikit pun”.
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil atau indikasi yang
menunjukkan tidak adanya suatu hukum, atau penetapan hukum dengan meneruskan
hukum yang telah ada berdasaran pada suatu dalil. Demikian definisi yang
dikemukakan oleh Syihabuddin al-Zanjani.[5]
Istishab menurut
Bahasa brarti mencari sesuatu yang ada hubungannya. Menurut istilah ulama Ushul
Fiqh ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan
lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan dalil itu.[6]
Ada perbedaan
pendapat dari para ulama mengenai kedudukan istishab apakah dapat dijadikan
hujjah syar’iyah. Perbedaan pandangan tersebut terbagi dalam dua golongan:
yakni golongan penerima dan golongan penolak.
Golongan penerima
yang dipelopori oleh ulama Syafi’iyah antara lain Al-Muzani, Al-Syairafi, dan
Al-Ghozali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syar’iyah atau dalil
bagi struktur hukum Islam. Mereka menggunakan argument sebagai berikut :[7]
a. Telah
nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidak bolehan sholat seseorang (yang
sejak semula) sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu
apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia
ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh sholat. Dengan demikian keadaan awal
harus dijadikan patokan, kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku kalau
belum wudhu keadaan ini pula yang berlaku. Sekiranya tidak demikian cara
menetapkannya tentu akan bertentangan dengan ijma’ tersebut.
b. Para
ahli fikir dan ahli ‘urf meyakini eksistensi eksisnya sesuatu atau tidak dengan
kondisi tertentu, membolehkan penetapan hukum pada masa kemudian dari masa
eksis atau tidak sesuatu itu.
c. Aturan-aturan
hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah juga berlaku bagi kita yang
hidup sesudah masa beliau. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab
yakni yang sudah ada tetap diakui ada sebagai mana adanya. Sekiranya istishab
tidak menunjukkan dugaan kuat akan alasan keterus berlakuan maka hukum syara’
pada masa Nabi tidak di taklifkan kepada kita karena ada kemungkinan peraturan
tersebut telah dinasakh (dihapus).
Golongan penolak dipelopori oleh
mayoritas ulama Hanafiyah, yang menggunakan argumentasi sebagai berikut:
a. Telah
ada ijma’ bahwa keterangan atau bukti yang bersifat menetapkan harus
diprioritaskan dari pada keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya
sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan yang bersifat mengingkari haruslah lebih layak untuk diprioritaskan.
b. Eksisnya
hukum pada masa berikutnya tidak ditunjukkan oleh suatu dalil dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan suatu kesia-siaan. Oleh karena itu,
istishab bukan merupakan hujjah syar’iyah.
c. Dalam
fiqh madzhab Syafi’i tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak
yang hilang tidaklah sah secara syar’i dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok
itu adalah sifat lestarinya sesuatu, tentu tindakan membayar kafarah yang
demikian itu sah hukumnya.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas
dapat kita simpulkan sebagai bahwa ada banyak sumber hukum Islam. Dan meskipun
demikian tidak semua ulama mdzhab fiqh mengakui ataupun menggunakannya dalam
menyelesaikan suatu kasus.
Sadd-Al-Dzariah merupakan
suatu upaya untuk menghentikan terjadinya kemungkinan mafsadah dalam setiap
perbuatan yang akan dilakukan, meskipun perbuatan itu hukumnya mubah. Ada dua
golongan yang berbeda pendapat dalam hal ini, golongan pertama adalah para
ulama madzhab Hanifah, Maliki, Syafi’i. mereka menggunakan Sadd Al-Dzariah
dalam beberapa kasus tertentu. Sedangkan golongan yang menolak adalah sebagian
ulama Zahiriyyah terutama Ibn Hazm.
Istishab merupakan suatu
ketetapan atau lebih kepada sebuah penegas bagi hukum yang telah ada, sebelum
adanya hukum yang baru yang menggantikan hukum yang lama. Dalam hal inipun
terdapat perbedaan diantara para ulama fiqh. Golongan yang menggunakan Istishab
dalam menyelesaikan masalah dipelopori oleh ulama Syafi’iyah antara lain
Al-Muzani, Al-Syairafi, dan Al-Ghozali. Sedangkan golongan yang menolak dipelopori
oleh mayoritas madzhab Hanafiyyah.
Memang terjadi
pertentangan para ulama fiqh mengenai metode dalam penyelesaian masalah. Dari
hal tersebut kita bisa membandingkan bagaimanakah cara yang terbaik dan harus
kita ambil dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi.
2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Sinar Grafika Offest.
Muin Umar, Asymuni A.
Rahman, dkk. 1986. Ushul Fiqh. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama.
[1]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2011),
hal. 142.
[2]
Muin Umar, Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 1986), Hal.
159-160.
[3]
Asmawi, loc. cit. hal. 143-146.
[4]
Ibid., hal. 146.
[5]
Ibid., hal. 152.
[6]
Muin Umar, Asymuni A. Rahman, dkk., loc. cit., hal. 155.
[7]
Asmawi, loc. cit., hal. 153-155.
0 comments :
Post a Comment