Sumber Hukum Islam

Wednesday, December 30, 2015

Sumber Hukum Islam



 SUMBER HUKUM ISLAM
Oleh: Nur Habib Fauzi

Secara Etimologi,  kata Sumber berarti asal sesuatu. Sumber hokum Islam berarti asal hukum Islam, dalil hukum Islam, pokok hukum Islam, atau dasar hukum Islam.[1]
Secara Terminologi adalah sumber yang menjadi rujukan atau pegangan di dalam menetapkan hukum atas suatu masalah. Secara lebih tegas, ahli Ushul Fiqh Abdul Wahhab Khallaf memaknai sumber, atau dalil hukum Islam sebagai sesuatu yang diambil darinya, hukum Syara’ secara amali, mutlak, baik dengan cara qath’I atau dzanni.[2]
Landasan teologis tentang sumber hukum Islam adalah Hadist Muadz bin Jabbal. Ketika Nabi Muhammad SAW. Mengutus Muadz pergi ke Yaman, beliau bertanya kepada Muadz “Seandainya kamu nanti menghadapi persoalan, bagaimana kamu memutuskannya?”.
       Saya akan memutuskan dengan Kitabullah”, jawab Muadz.
       Jika kamu tidak menemuinya dalam Kitabullah?
       Saya akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah
       Jika juga kamu tidak temui dalam Sunnah Rasullah?
       Saya akan berIjtihad dengan pendapatku sendiri dan tidak akan menyerah”, jawab Muadz. Nabi Muhammad SAW. Memuji sikap Muadz tadi dan menanggapinya sebagai sikap yang tepat. Beliau kemudian berkata Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah merestui utusan dari utusan Allah terhadap sesuatu yang diridhai-Nya”.[3]
Dari Hadist Muadz bin Jabbal di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat tertentu untuk berIjtihad. Ketiga sumber hukum tersebut merupakan satu kesatuan hierarkis. Artinya dari sisi tingkatan, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang tertinggi. Di bawahnya adalah As-Sunnah dan kemudian akal pikiran manusia yang harus memenuhi kriteria dan syarat untuk berijtihad. Posisi ini bersifat tetap dan tidak dapat dibolak balikkan.
Tokoh besaryang merumuskan formulasi sumber hukum Islam adalah Muhammad Idris as-Syafi’I (767-820 M). dalam kitabnya yang monumental Kitab al-Risalah fi Ushul al-Fiqh, beliau merumuskan sumber hukum Islam ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat tentang formulasi ini didasarkan pada QS. An-Nisa’: 59
يايهاالذينءامنوااطيعواالله واطيعواالرسول واولى الا مرمنكم، فان تنزعتم فى شىءفردوالى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الا خر. ذلك خيرواحسن تاويلا.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan Rasul”.

Perkataan “Taatilah Allah (dan) taatilah Rasulmenunjukkan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan kedua. Sedangkan perkataan “dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu menunjukkan Ijma’ sebagai sumber hukum. Sedangkan kata-kata “Jika kamu berbeda pendapat menegenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul menunjuk sebagai Qiyas sebagai sumber hukum Islam.[4]

Menurut istilah Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril sebagai perantara, yang diturunkan secara bertahab, selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, ditulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya. Pengertian ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Al-Qur-an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam, yang disamping sebagai mukjizat, juga merupakan ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur-an menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW., tetapi fungsi utamanya adalah untuk menjadi “Petujuk seluruh umat manusia”. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk sebagai agama atau biasa dikenal sebagai Syari’at. Dari segi sumbernya, Al-Qur’an dikategorikan sebagai sumber qath’I al-wurud (qath’I al-tsubut. Maksudnya, sumbernya dari Allah SWT. Secara pasti tanpa perlu dipertanyakan atau diragukan lagi.[5] Sebagai sesuatu yang pasti, maka siapapun yang menolak kebenarannya dapat dikategorikan sebagai orang kafir.
Dari kandungannya, ayat al-Qur’an terbagi kepada qath’i dhilalah dan dzanni dhilalah. Yang dimaksud dengan qth’I dhilalah adalah ayat-ayat al-Qur’an yang sudah jelas maksudnya sehingga sudah tidak memerlukan penafsiran lagi. Sedangkan dzanni dhilalah adalah ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran, sehingga memungkinkan para ulama’ dan pemikir Islam dari zaman ke zaman untuk berbeda pendapat. Sebab penafsiran yang dilakukan antara satu orang dengan orang lain hamper pasti tidak sama. Selalu saja ada sisi yang membedakan, karena pengaruh latar belakang, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan.
Pada umumnya isi kandunagn al-Qur’an bersifat global dalam membahas persoalan. Disinilah manusia yang memiliki kemampuan untuk berIjtihad mendapatkan kesempatan berkarya dengan merujuk kepada al-Qur’an. Ijtihad sangat diperlukan karena dinamika dan perkembangan sosial terus berlangsung, sementara hukum Islam tetap. Munculnya berbagai persoalan ini membutuhkan jawaban. Usaha untuk memberikan jawaban inilah yang secara sederhana dapat kita sebut sebagai Ijtihad.



Menurut istilah, Hadist adalah apa yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), maupun ketetapan (Taqririyah). Dalam sistem hukum Islam, Hadist menjadi sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Meskipun sama-sama sebagai sumber hukum yang pokok, ada beberapa hal yang membedakan antara al-Qur’an dan Hadist. Pertama, perbedaan dalam sejarah dokumentasi dan pencatatannya. Proses pencatatan al-Qur’an telah dilakukan secara teratur oleh para sahabat dalam setiap turunnya wahyu, dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat muslim pada waktu itu.berbeda dengan hadist, dalam catatan sejarah dokumentasi hadist baru dilakukan jauh setelah wafatnya Nabi dan sahabat. Sejarah menjatat bahwa dokumentasi secara resmi dilakukan pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz (Bani Abbassiyah).
Kedua, periwayatan al-Qur’an terjadi tanpa adanya keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Sedangkan hadist, jumlah yang mutawatir jauh lebih sedikit dibanding dengan hadist ahad.
Ketiga, tidak diperbolehkan meriwayatkan al-Qur’an dengan makna. Sedangkan hadist boleh meriwayatkannya dengan menngunakan makna maupun terjemahan atas kata-kata yang digunakan oleh Nabi.
Keempat, ada jaminan dari Tuhan untuk menjaga otentisitas al-Qur’an, seperti dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 19Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”. Sedangkan hal ini tidak terjadi pada hadist, sehingga banyak pemalsuan-pemalsuan hadist yang sering terjadi. Ada beberapa factor yang melatar belakangi munculnya hadist palsu; antara lain factor politik, ekonomi, golongan, mencari muka kapada penguasa, hidup kedzuhudan dan daya Tarik dalam berdakwah.[6]
Kelima, berbeda dengan al-Qur’an, walaupun dalam hadist ada kitab-kitab standar, tetapi tetap saja tidak dikenal adanya kitab Hadist resmi. Ini berimplikasi pada munculnya ikhtiar menkritisi terhadap kitab-kitab hadist sepanjang sejarah.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, Hadist memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a)      Sebagai penguat hukum atas suatu peristiwa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an;
b)      Sebagai pemberi keterangan terhadap ayat-ayat dalam al-Qur’an, yang meliputi;
-          Merinci ayat yang bersifat global,
-          Membatasi kemutlakan ayat, dan;
-          Membawa hukum baru yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an.
Selain dua sumber hukum Islam diatas, terdapat sumber hukum yang merupakan hasil pemikiran para ulama’.dalam literature hukum Islam, akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berIjtihad disebut al-ra’y.[7]
Dasar hukum yang menggunakan akal pikiran untuk berIjtihad dalam pengemabngan hukum Islam adalah 1) Al-Qur’an Surat An-Nisa’: 56, 2) Hadist Muadz bin Jabbal, 3) contoh yang diberikan Khalifah Umar bin Khattab dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam berIjtihad, ada beberapa metode yang dilakukan, diantaranya:
Menurut istilah, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahidin diantara umat Islam pada masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. Atas hukum Syar’I mengenai suatu kejadian/kasus.
Ijma’ akan diakui sebagai sumber hukum Islam jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu: Pertama, ketika terjadinya peristiwa harus ada beberapa orang mujtahid; Kedua, semua mujtahid yang menyaksikan peristiwa tersebut mengakui hukum syara’ yang telah ditetapkan  dengan tidak memandang Negara, kebangsaan, dan golongan mereka; Ketiga, kesepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dari mereka secara tegas terhadap peristiwa tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan; Keempat, kesepakatan itu harus merupakan kebulatan pendapat dari semua Mujtahid.[8]
Menurut istilah qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya,karena adanya segi-segi persamaan ‘illat antara keduanya.[9] Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama’ dalam menetapkan kehujjahan qiyas adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
Q.S Al-Hasyr: 2
فاعتزلوا ياأولى الأبصار
“Maka ambillah kejadian itu menjadi alasan, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Q.S An-Nisa: 59
فان تنازعتم فى شئ فردّوه الى الله والرّسول
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”.
Ada empat unsur yang menjadi tolak ukur dalam pemakaian qiyas. Pertama, Ashad (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam nash yang dijadikan patokan dalam meng-qiyas-kan hukum suatu masalah, atau bias disebut dengan maqis ‘alaihi. Kedua, Far’u (cabang), yakni suatu peristiwa baru yang belum ada ketentuan hukumnya di dalam nash sehingga memerlukan dasar penetapan hukum, atau bias disebut dengan maqis.
Ketiga, hukum ashal, yakni ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash tersebut untuk menetapkan hukum cabang. Keempat, ‘illat, yakni kesesuaian sifat yang terdapat dalam hukum ashal itu sama dengan sifat yang terdapat dalam peristiwa baru (cabang).[10]
Menurut istilah ihtisan ialah mengecualikan hukumsuatu peristiwa terhadap hukum peristiwa lain yang sejenis, karena ada alasan yang kuat dari pengecualian tersebut.[11] Dari pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa istihsan adalah kebalikan dari qiyas.
Ulama’ yang pertama kali menemukan dan menggunakan istihsan adalah Imam Abu Hanifah. Dalam perkembangannya, selain Abu Hanifah dan kelompok Hanafiyah, Madzab Maliki juga menggunakan Istihsan, tetapi mereka menyebutnya dengan maslahah al-mursalah.
Maslahah Mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus.
Ahmad Azhar Basyir memberikan contoh menarik untuk memudahkan pengertian maslahah mursalah, yaitu mengenai pemungutan pajak penghasilan. Pemungutan pajak penghasilan dilakukan untuk kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan, atau pengumpulan dana yang dilakukan untuk kepentingan umum, sama sekali tidak disinggung di dalam al-Qur’an dan Hadist.[12]
Penggunaan maslahah sebagai sumber hukum harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Penggunaan maslahah tersebut bertujuan menyempurnakan maksud-maksud syari’at;
2.      Penggunaannya harus sederhana (seimbang) dan dapat diterima akal (logis);
3.      Penggunaannya bertujuan mengatasi kesulitan; dan
4.      Penggunaannya untuk kepentingan umum.
Dari segi bahasa, arti ‘urf adalah mengetahui, sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Secara istilah,’urf adalah kebiasaan kebanyakan orang dalam kata-kata dan perbuatannya.[13]
Dari sisi benar dan tidaknya, ‘Urf dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, ‘Urf shahih, yaitu kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syara’, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya, kebiasaan seorang laki-laki yang melamar wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar.[14]
Kedua, ‘urf fasid, yaitu kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat yang bertentangan dengan dalil syara’. Misalnya, kebiasaan perjanjian yang memungut riba.[15]




1.      Terhindar dari paham ekstrim yang merasa benar sendiri;
2.      Untuk mengetahui bahwa ilmu Fiqh adalah produk Ulama’ secara individu;
3.      Untuk mengembangkan langkah ulama’ dahulu dalam menentukan hukum-hukum setiap peristiwa agar lebih maslahah dan berkembang;
4.      Untuk melahirkan sikap hidup yang toleran.

Seperti yang dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah: 256
لااكراه فى الدين، قدتبين الرشدمن الغى. فمن يكفربالطغوت ويؤمن بالله فقداستمسك بالعروةالوثقى لاانفصام لها. والله سميع عليم.
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tai yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini kiranya menjadi hujjah bagi orang-orang yang sengaja memusuhi umat Islam, bahkan orang-orang Islam itu sendiri yang berprasangka bahwa Islam tidak bias tegak melainkan dengan “pedang” sebagai penopangnya. Ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar agama rahmatan lil’alamin. Barang siapa yang berpegang pada tali penyelamat dan bernaung di bawah panji kebenaran yang paling kokoh, maka akan tercapai istiqamah di jalan yang lurus dan takkan sesat.
Ayat ini selanjutnya menjelaskan bahwa, siapa-siapa yang tidak lagi menyemabah patung, atau thaghut, atau benda yang lain, melainkan beriman dan menyembah Allah semata-mata, maka ia telah mendapatkan pegangan yang kokoh, laksana tali yang kuat dan takkan putus. Dan iman yang sesungguhnya adalah iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diiringi dengan perbuatan. Itulah sebabnya, maka pada akhir ayat, Allah berfirman “Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Artinya Allah senantiasa mendengar apa yang diucapkan dan mengetahui apa yang diyakini dalam hati, dan apa yang telah diperbuat oleh badan. Dan Allah akan membalas amal seseorang sesuai dengan iman, perkataan dan perbuatan mereka masing-masing.

KESIMPULAN

Jadi, dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumeber hukum Islam yang disepakati oleh ulama’ yaitu berupa Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ra’y (Ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, dan ‘Urf). Itu semua berdasarkan firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ : 59 dan hadist Muadz bin Jabbal.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Dan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama. As-Sunnah merupakan perbuata, perkataan maupun ketetapan dari Rasulullah saw. Dan sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Selain dua sumber tersebut, terdapat sumber hukum yang lain dan merupakan hasil pemikiran para ulama’. Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berIjtihad disebut Ra’y. dengan mamahami sumber-sumber hukum dalam Islam, kita akan lebih berhati-hati menentukan hukum dalam persoalan yang kita hadapi sehari-hari dan terhindar dari kefasikan maupun kedzaliman.


DAFTAR PUSTAKA

Naim, Ngainun. 2006. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: eLKAF.
Yahya, Muchtar. 1979. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Isamy, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1972. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Jakarta: Majlis al-A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah.
Dawud, Abu. 1994. Sunan Abu Dawud, Juz III. T.Tp, Tp.
Ash-Shidieqy, Hasbie. 1993. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish. 1998. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syakir, Ahmad Muhammad. Al-fiyyah Al-suyuti fi ‘Ilm Hadist. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Azas-azas Hukum Mu’amalat. Yogyakarta: UII.
Yahya, Mukhtar dan Fatkhurrahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: PT Al-Ma’rif.
Hanafi, A.. 1984. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Vaxon, Dheana. 2013. Makalah Sumber Hukum Islam Yang Disepakati Oleh Para Ulama. http://dheanavexon.blogspot.com


[1] Muchtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Isamy, Jilid I (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1979), hlm. 21.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, 1972), hlm. 17.
[3] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz III, (T.Tp, Tp: 1994), hlm 295.
[4] TM Hasbie Ash-Shidieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. V, 1993), hlm. 50.
[5] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998).
[6] Ahmad Muhammad Syakir, Al-fiyyah Al-suyuti fi ‘Ilm Hadist, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), hlm. 85-92.
[7] Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Mu’amalat, (Yogyakarta: UII, 1983), hlm. 6.
[8] Mukhtar Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT Al-Ma’rif, 1986), hlm. 59-60.
[9] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 63.
[10] Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar, hlm. 69.
[11] Hanafi, Pengantar, hlm. 66.
[12] Basyir, Azas-azas, hlm. 3.
[13] Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar, hlm. 83.
[14] Ibid, hlm. 110.
[15] Ibid.

0 comments :

Post a Comment