Sumber Hukum Islam
Secara Etimologi, kata Sumber berarti asal sesuatu. Sumber
hokum Islam berarti asal hukum Islam, dalil hukum Islam, pokok hukum Islam,
atau dasar hukum Islam.[1]
Secara Terminologi adalah sumber yang menjadi
rujukan atau pegangan di dalam menetapkan hukum atas suatu masalah. Secara
lebih tegas, ahli Ushul Fiqh Abdul Wahhab Khallaf memaknai sumber, atau dalil
hukum Islam sebagai sesuatu yang diambil darinya, hukum Syara’ secara
amali, mutlak, baik dengan cara qath’I atau dzanni.[2]
Landasan teologis tentang sumber hukum Islam adalah
Hadist Muadz bin Jabbal. Ketika Nabi Muhammad SAW. Mengutus Muadz pergi ke
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz “Seandainya kamu nanti menghadapi
persoalan, bagaimana kamu memutuskannya?”.
“Saya akan memutuskan
dengan Kitabullah”, jawab Muadz.
“Jika kamu tidak
menemuinya dalam Kitabullah?”
“Saya akan memutuskan
dengan Sunnah Rasulullah”
“Jika juga kamu tidak
temui dalam Sunnah Rasullah?”
“Saya akan berIjtihad
dengan pendapatku sendiri dan tidak akan menyerah”, jawab Muadz. Nabi
Muhammad SAW. Memuji sikap Muadz tadi dan menanggapinya sebagai sikap yang
tepat. Beliau kemudian berkata “Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah
merestui utusan dari utusan Allah terhadap sesuatu yang diridhai-Nya”.[3]
Dari Hadist Muadz bin Jabbal di atas dapatlah
disimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah dan
akal pikiran manusia yang memenuhi syarat tertentu untuk berIjtihad. Ketiga
sumber hukum tersebut merupakan satu kesatuan hierarkis. Artinya dari sisi
tingkatan, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang tertinggi. Di bawahnya adalah
As-Sunnah dan kemudian akal pikiran manusia yang harus memenuhi kriteria dan
syarat untuk berijtihad. Posisi ini bersifat tetap dan tidak dapat dibolak
balikkan.
Tokoh besaryang merumuskan formulasi sumber hukum
Islam adalah Muhammad Idris as-Syafi’I (767-820 M). dalam kitabnya yang
monumental Kitab al-Risalah fi Ushul al-Fiqh, beliau merumuskan sumber
hukum Islam ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat
tentang formulasi ini didasarkan pada QS. An-Nisa’: 59
يايهاالذينءامنوااطيعواالله واطيعواالرسول
واولى الا مرمنكم، فان تنزعتم فى شىءفردوالى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله
واليوم الا خر. ذلك خيرواحسن تاويلا.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah
dan Rasul”.
Perkataan “Taatilah Allah (dan) taatilah Rasul”
menunjukkan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang
pertama dan kedua. Sedangkan perkataan “dan orang-orang yang memegang
kekuasaan diantara kamu” menunjukkan Ijma’ sebagai sumber hukum.
Sedangkan kata-kata “Jika kamu berbeda pendapat menegenai sesuatu,
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” menunjuk sebagai Qiyas
sebagai sumber hukum Islam.[4]
Menurut istilah Al-Qur’an adalah firman
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril
sebagai perantara, yang diturunkan secara bertahab, selama 22 tahun 2 bulan 22
hari, ditulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir, dan
merupakan ibadah bagi yang membacanya. Pengertian ini memberikan pemahaman
kepada kita bahwa Al-Qur-an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam, yang
disamping sebagai mukjizat, juga merupakan ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur-an menjadi bukti kebenaran Nabi
Muhammad SAW., tetapi fungsi utamanya adalah untuk menjadi “Petujuk seluruh
umat manusia”. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk sebagai agama atau biasa
dikenal sebagai Syari’at. Dari segi sumbernya, Al-Qur’an dikategorikan sebagai
sumber qath’I al-wurud (qath’I al-tsubut. Maksudnya, sumbernya dari
Allah SWT. Secara pasti tanpa perlu dipertanyakan atau diragukan lagi.[5]
Sebagai sesuatu yang pasti, maka siapapun yang menolak kebenarannya dapat
dikategorikan sebagai orang kafir.
Dari kandungannya, ayat al-Qur’an terbagi
kepada qath’i dhilalah dan dzanni dhilalah. Yang dimaksud dengan
qth’I dhilalah adalah ayat-ayat al-Qur’an yang sudah jelas maksudnya sehingga
sudah tidak memerlukan penafsiran lagi. Sedangkan dzanni dhilalah adalah
ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran, sehingga memungkinkan para
ulama’ dan pemikir Islam dari zaman ke zaman untuk berbeda pendapat. Sebab penafsiran
yang dilakukan antara satu orang dengan orang lain hamper pasti tidak sama.
Selalu saja ada sisi yang membedakan, karena pengaruh latar belakang, seperti
sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan.
Pada umumnya isi kandunagn al-Qur’an bersifat
global dalam membahas persoalan. Disinilah manusia yang memiliki kemampuan
untuk berIjtihad mendapatkan kesempatan berkarya dengan merujuk kepada
al-Qur’an. Ijtihad sangat diperlukan karena dinamika dan perkembangan sosial
terus berlangsung, sementara hukum Islam tetap. Munculnya berbagai persoalan
ini membutuhkan jawaban. Usaha untuk memberikan jawaban inilah yang secara
sederhana dapat kita sebut sebagai Ijtihad.
Menurut istilah, Hadist adalah apa yang
diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan (qauliyah),
perbuatan (fi’liyah), maupun ketetapan (Taqririyah). Dalam sistem
hukum Islam, Hadist menjadi sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Meskipun
sama-sama sebagai sumber hukum yang pokok, ada beberapa hal yang membedakan
antara al-Qur’an dan Hadist. Pertama, perbedaan dalam sejarah
dokumentasi dan pencatatannya. Proses pencatatan al-Qur’an telah dilakukan
secara teratur oleh para sahabat dalam setiap turunnya wahyu, dilakukan secara
terbuka dan diketahui oleh masyarakat muslim pada waktu itu.berbeda dengan
hadist, dalam catatan sejarah dokumentasi hadist baru dilakukan jauh setelah
wafatnya Nabi dan sahabat. Sejarah menjatat bahwa dokumentasi secara resmi
dilakukan pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz (Bani Abbassiyah).
Kedua, periwayatan al-Qur’an terjadi tanpa adanya
keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Sedangkan hadist,
jumlah yang mutawatir jauh lebih sedikit dibanding dengan hadist ahad.
Ketiga, tidak diperbolehkan meriwayatkan al-Qur’an dengan
makna. Sedangkan hadist boleh meriwayatkannya dengan menngunakan makna maupun
terjemahan atas kata-kata yang digunakan oleh Nabi.
Keempat, ada jaminan dari Tuhan untuk menjaga otentisitas
al-Qur’an, seperti dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 19 “Dan kami
telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami
tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”. Sedangkan hal ini
tidak terjadi pada hadist, sehingga banyak pemalsuan-pemalsuan hadist yang
sering terjadi. Ada beberapa factor yang melatar belakangi munculnya hadist
palsu; antara lain factor politik, ekonomi, golongan, mencari muka kapada
penguasa, hidup kedzuhudan dan daya Tarik dalam berdakwah.[6]
Kelima, berbeda dengan al-Qur’an, walaupun dalam hadist ada
kitab-kitab standar, tetapi tetap saja tidak dikenal adanya kitab Hadist resmi.
Ini berimplikasi pada munculnya ikhtiar menkritisi terhadap kitab-kitab hadist
sepanjang sejarah.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, Hadist
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a) Sebagai penguat hukum atas suatu peristiwa
yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an;
b) Sebagai pemberi keterangan terhadap
ayat-ayat dalam al-Qur’an, yang meliputi;
-
Merinci ayat yang bersifat global,
-
Membatasi kemutlakan ayat, dan;
-
Membawa hukum baru yang tidak ditetapkan dalam
al-Qur’an.
Selain dua sumber hukum Islam diatas, terdapat sumber
hukum yang merupakan hasil pemikiran para ulama’.dalam literature hukum Islam, akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berIjtihad disebut al-ra’y.[7]
Dasar hukum yang menggunakan akal pikiran untuk
berIjtihad dalam pengemabngan hukum Islam adalah 1) Al-Qur’an Surat An-Nisa’:
56, 2) Hadist Muadz bin Jabbal, 3) contoh yang diberikan Khalifah Umar bin
Khattab dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam berIjtihad, ada beberapa metode yang dilakukan,
diantaranya:
Menurut istilah, Ijma’ adalah kesepakatan para
mujtahidin diantara umat Islam pada masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. Atas
hukum Syar’I mengenai suatu kejadian/kasus.
Ijma’ akan diakui sebagai sumber hukum Islam jika
memenuhi beberapa kriteria, yaitu: Pertama, ketika terjadinya peristiwa
harus ada beberapa orang mujtahid; Kedua, semua mujtahid yang
menyaksikan peristiwa tersebut mengakui hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan tidak memandang Negara, kebangsaan,
dan golongan mereka; Ketiga, kesepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh
masing-masing dari mereka secara tegas terhadap peristiwa tersebut, baik
melalui perkataan maupun perbuatan; Keempat, kesepakatan itu harus
merupakan kebulatan pendapat dari semua Mujtahid.[8]
Menurut istilah qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang
belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan
hukumnya,karena adanya segi-segi persamaan ‘illat antara keduanya.[9] Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama’ dalam menetapkan
kehujjahan qiyas adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
Q.S Al-Hasyr: 2
فاعتزلوا ياأولى الأبصار
“Maka ambillah kejadian itu menjadi alasan, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”.
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya)”.
Ada empat unsur yang menjadi tolak ukur dalam pemakaian
qiyas. Pertama, Ashad (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah
ada ketentuan hukumnya dalam nash yang dijadikan patokan dalam meng-qiyas-kan
hukum suatu masalah, atau bias disebut dengan maqis ‘alaihi. Kedua,
Far’u (cabang), yakni suatu peristiwa baru yang belum ada ketentuan hukumnya
di dalam nash sehingga memerlukan dasar penetapan hukum, atau bias disebut
dengan maqis.
Ketiga, hukum ashal, yakni ketetapan hukum syara’ yang
ditetapkan oleh nash tersebut untuk menetapkan hukum cabang. Keempat,
‘illat, yakni kesesuaian sifat yang terdapat dalam hukum ashal itu sama
dengan sifat yang terdapat dalam peristiwa baru (cabang).[10]
Menurut istilah ihtisan ialah mengecualikan hukumsuatu
peristiwa terhadap hukum peristiwa lain yang sejenis, karena ada alasan yang
kuat dari pengecualian tersebut.[11]
Dari pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa istihsan adalah kebalikan dari
qiyas.
Ulama’ yang pertama kali menemukan dan menggunakan
istihsan adalah Imam Abu Hanifah. Dalam perkembangannya, selain Abu Hanifah dan
kelompok Hanafiyah, Madzab Maliki juga menggunakan Istihsan, tetapi mereka
menyebutnya dengan maslahah al-mursalah.
Maslahah Mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan
kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya
dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus.
Ahmad Azhar Basyir memberikan contoh menarik untuk
memudahkan pengertian maslahah mursalah, yaitu mengenai pemungutan pajak
penghasilan. Pemungutan pajak penghasilan dilakukan untuk kepentingan
masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan, atau pengumpulan dana yang
dilakukan untuk kepentingan umum, sama sekali tidak disinggung di dalam
al-Qur’an dan Hadist.[12]
Penggunaan maslahah sebagai sumber hukum harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Penggunaan maslahah tersebut bertujuan
menyempurnakan maksud-maksud syari’at;
2. Penggunaannya harus sederhana (seimbang)
dan dapat diterima akal (logis);
3. Penggunaannya bertujuan mengatasi
kesulitan; dan
4. Penggunaannya untuk kepentingan umum.
Dari segi bahasa, arti ‘urf adalah mengetahui, sesuatu
yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Secara istilah,’urf adalah kebiasaan kebanyakan orang dalam kata-kata dan
perbuatannya.[13]
Dari sisi benar dan tidaknya, ‘Urf dibagi menjadi dua,
yaitu: Pertama, ‘Urf shahih, yaitu kebiasaan yang telah menjadi
tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syara’, tidak menghalalkan
yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya, kebiasaan seorang
laki-laki yang melamar wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan
sebagai mahar.[14]
Kedua, ‘urf fasid, yaitu kebiasaan yang telah menjadi
tradisi masyarakat yang bertentangan dengan dalil syara’. Misalnya, kebiasaan
perjanjian yang memungut riba.[15]
Al-Qur’an sebagai kitab Allah menduduki
posisi pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus sebagai dalail
utama fiqh. Al-Qur’an juga membimbing dan memberi petunjuk untuk menemukan
hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai
sumber utama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan
hukumsuatu persoalan, penyelesaiannya terlebih dulu berdasarkan Al-Qur’an.
Apabila menggunakan sumber lain selain Al-Qur’an, makaharus sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum
selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan
manusia dengan alam.
As-Sunnah itu bersifat dzanni al-wurud.
Dari kenyataan ini jumhur ulama’ mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan
kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan Sunnah menurut dalil syara’
berada pada posisi kedua setelah l-Qur’an, dalam kaitan ini Al-Syatibi dan
Al-Qasimi, pada dasarnya argumentasi mereka digolongkan menjadi dua bagian, yaitu argumentasi rasional dan
tekstual, yaitu:
- Al-Qur’an bersifat Qath’I al-wurud,
sedangkan SUnnah bersifat Zhanny al-wurud, oleh karena itu yang qath’I harus
didahulukan dari pada yang zhanny.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan
Ijma’ menempati salah satu sumber dalil hukum sesudah A-Qur’an dan As-Sunnah.
Ini menunjukkan bahwa Ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat Islam bila tidak ada ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah.
1. Terhindar dari
paham ekstrim yang merasa benar sendiri;
2. Untuk mengetahui bahwa ilmu Fiqh adalah
produk Ulama’ secara individu;
3. Untuk mengembangkan langkah ulama’ dahulu
dalam menentukan hukum-hukum setiap peristiwa agar lebih maslahah dan
berkembang;
4. Untuk melahirkan sikap hidup yang toleran.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S
Al-Baqarah: 256
لااكراه فى الدين، قدتبين الرشدمن الغى. فمن يكفربالطغوت ويؤمن بالله
فقداستمسك بالعروةالوثقى لاانفصام لها. والله سميع عليم.
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk
memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tai yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini
kiranya menjadi hujjah bagi orang-orang yang sengaja memusuhi umat Islam,
bahkan orang-orang Islam itu sendiri yang berprasangka bahwa Islam tidak bias
tegak melainkan dengan “pedang” sebagai penopangnya. Ini menunjukkan bahwa
Islam benar-benar agama rahmatan lil’alamin. Barang siapa yang berpegang
pada tali penyelamat dan bernaung di bawah panji kebenaran yang paling kokoh,
maka akan tercapai istiqamah di jalan yang lurus dan takkan sesat.
Ayat ini
selanjutnya menjelaskan bahwa, siapa-siapa yang tidak lagi menyemabah patung,
atau thaghut, atau benda yang lain, melainkan beriman dan menyembah Allah
semata-mata, maka ia telah mendapatkan pegangan yang kokoh, laksana tali yang
kuat dan takkan putus. Dan iman yang sesungguhnya adalah iman yang diyakini
dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diiringi dengan perbuatan. Itulah
sebabnya, maka pada akhir ayat, Allah berfirman “Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. Artinya Allah senantiasa mendengar apa yang diucapkan dan
mengetahui apa yang diyakini dalam hati, dan apa yang telah diperbuat oleh
badan. Dan Allah akan membalas amal seseorang sesuai dengan iman, perkataan dan
perbuatan mereka masing-masing.
KESIMPULAN
Jadi, dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumeber hukum
Islam yang disepakati oleh ulama’ yaitu berupa Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ra’y
(Ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, dan ‘Urf). Itu semua berdasarkan
firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ : 59 dan hadist Muadz bin Jabbal.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
Dan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama. As-Sunnah merupakan
perbuata, perkataan maupun ketetapan dari Rasulullah saw. Dan sebagai sumber
hukum Islam yang kedua.
Selain dua sumber tersebut, terdapat sumber hukum yang lain dan
merupakan hasil pemikiran para ulama’. Akal pikiran manusia yang memenuhi
syarat untuk berIjtihad disebut Ra’y. dengan mamahami sumber-sumber hukum dalam
Islam, kita akan lebih berhati-hati menentukan hukum dalam persoalan yang kita
hadapi sehari-hari dan terhindar dari kefasikan maupun kedzaliman.
DAFTAR
PUSTAKA
Naim,
Ngainun. 2006. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: eLKAF.
Yahya, Muchtar. 1979. Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh-Isamy, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1972. ‘Ilm Ushul
al-Fiqh. Jakarta: Majlis al-A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah.
Dawud, Abu. 1994. Sunan Abu Dawud, Juz
III. T.Tp, Tp.
Ash-Shidieqy,
Hasbie. 1993. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, M.
Quraish. 1998. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syakir,
Ahmad Muhammad. Al-fiyyah Al-suyuti fi ‘Ilm Hadist. Beirut: Dar
al-Ma’rifah.
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Azas-azas
Hukum Mu’amalat. Yogyakarta: UII.
Yahya,
Mukhtar dan Fatkhurrahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung:
PT Al-Ma’rif.
Hanafi, A.. 1984. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Vaxon, Dheana. 2013. Makalah Sumber Hukum Islam Yang Disepakati
Oleh Para Ulama. http://dheanavexon.blogspot.com
[1] Muchtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Isamy, Jilid I
(Jakarta: Pustaka Alhusna, 1979), hlm. 21.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis
al-A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, 1972), hlm. 17.
[6] Ahmad Muhammad Syakir, Al-fiyyah Al-suyuti fi ‘Ilm Hadist,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), hlm. 85-92.
[8] Mukhtar Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: PT Al-Ma’rif, 1986), hlm. 59-60.
0 comments :
Post a Comment