Penatagunaan Tanah Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960
PENATAGUNAAN TANAH
BERDASARKAN UU POKOK AGRARIA
A.
Pengaturan
Penatagunaan Tanah
1.
Peraturan
Perundangan-undangan yang Mengatur Penatagunaan Tanah
Penataagunaan tanah sebagai bagian dari Hukum Agraria Nasional
mempunyai landasan hukum yang bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Ketentuan ini mengandung tiga prinsip, yaitu:
1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara.
2. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus
menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Hubungan antara negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai.[1]
Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.
104-TLNRI No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa:[2]
1. Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Wewenang negara
atas bumi, air, dan ruang angkasa yang disebutkan dalam UUPA yang berkaitan
dengan penatagunaan tanah adalah Pasal 2 ayat (2), yaitu mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 14 UUPA, yaitu:[3]
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan
(3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemeritah dalam rangka
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya:
a. Untuk keperluan Negara;
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya,
sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
2. Berdasarkan
rencana umum tersebut pada ayat (1) ini dan mengingat peraturan-peraturan yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan
bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II
dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala
Daerah yang bersangkutan.
Pasal 14 UUPA
menetapkan agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk:
1. Kepentingan yang bersifat politis
2. Kepentingan yang bersifat ekonomis
3. Kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan
Dalam rangka
pemeliharaan tanah, ditetapkanlah ketentuan Pasal 15 UUPA, yaitu: “Memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu, dengan memerhatikan pihak yang ekonomis lemah.” Pasal
15 UUPA menetapkan kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan tanah baik
instansi Pmerintah, perusahaan, maupun masyarakat pada umumnya untuk mencegah
kerusakan tanahnya, sedangkan kepada pihak-pihak yang menggunakan tanah untuk
usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan harus dicegah kerusakan
tanahnya dan menambah kesuburan tanahnya.
Pada tahun 1992
diundangkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan ruang, LNRI Tahun
1992 No. 115 - TLNRI No. 3501. Dalam undang-undang ini diatur penatagunaan
tanah, yaitu dalam Pasal 14 dan Pasal 16-nya, yaitu:
Pasal 14
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, yaitu:
1. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan: a).
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan budi daya dan fungsi lindung, dimensi
waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; b). Aspek
pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika
lingkungan, serta kualitas ruang.
2. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.
3. Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan
keamanan sebagai subsistem perencanaan tata ruang, tata cara penyusunannya
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, yaitu:
1. Dalam pemanfaatan tata ruang dikembangkan: a). Pola pengelolaan
tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara. dan tata guna sumber daya alam
lainnya sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b). Perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati
penduduk sebagai warga negara.
2. Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air,
tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sebagaimana diatur
dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pengertian Penatagunaan Tanah
Menurut R.
Soeprapto, tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan peruntukan,
penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga
diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam hukum
positif, pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dimuat
dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 jo. Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu penatagunaan tanah sama halnya
dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi, penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui
pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.[4]
3. Prinsip dan Dasar Penatagunaan Tanah
Sudikono
Mertokusumo menyatakan bahwa penatagunaan tanah mempunyai tiga prinsip, yaitu:[5]
1. Prinsip penggunaan aneka (principle multiple use). Prinsip
ini menghendaki agar penatagunaan tanah harus dapat memenuhi beberapa
kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu. Prinsip ini mempunyai
peranan penting untuk mengatasi keterbatasan areal, terutama di wilayah yang
jumlah penduduknya sudah sangat padat.
2. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production).
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang tanah diarahkan untuk
memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat
yang mendesak. Yang dimaksud hasil fisik adalah sesuatu yang dihasilkan dari
tanah misalnya sawah menghasilkan padi atau bahan pangan lainnya.
3. Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use).
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang tanah memberikan
keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang
menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.
Nad Darga
Talkurputra menyatakan bahwa ada sepuluh dasar penatagunaan tanah, yang di dalamnya
memuat pengaturan persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, yaitu:[6]
1. Kewenangan negara
2. Batas-batas hak dari pemegang hak atas tanah
3. Fungsi sosial hak atas tanah
4. Perlindungan ekonomi lemah
5. Penatagunaan tanah tidak dapat dilepaskan dengan pengaturan
penguasaan dan pemilikan tanah
6. Penatagunaan tanah sebagai komponen pembangunan nasional
7. Penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang
8. Penatagunaan tanah merupakan kegiatan yang bersifat koordinatif
9. Penatagunaan tanah sebagai suatu sistem yang dinamis
10.Penatagunaan tanah merupakan tugas Pemerintah Pusat
4. Penatagunaan Tanah di Perkotaan dan Pedesaan
Pada kawasan
perkotaan dan kawasan pedesaan mempunyai perbedaan dalam penggunaan tanah yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor , yaitu:[7]
a. Titik berat penggunaan tanah
b. Ciri-ciri kehidupan masyarakat
c. Jumlah penduduk dan penyebarannya
Berdasarkan
kegiatan dan penggunaan tanahnya, penatagunaan tanah dibagi menjadi dua, yaitu:[8]
1. Penataan Tanah di Perkotaan
Menurut Pasal 1
angka 25 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan perkotaan
adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam penggunaan tanah di kawasan perkotaan adalah:
a. Pada umumnya digunakan untuk suatu kegiatan yang memerlukan tanah
(tempat/ruang) relatif tidak luas dan biasanya diukur dengan ukuran meter
persegi, misalnya untuk kegiatan perumahan, perkantoran, perhotelan, pertokoan,
perdagangan, pabrik/industri, pendidikan, peribadatan, fasilitas umum/sosial.
b. Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan
adalah aktivitas hidupnya non-pertanian dan jasa-jasa tertentu.
c. Jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan adalah sangat
besar, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas jumlah dan luasnya.
Sebagaiman
ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2
Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, yaitu tujuan suatu
perencanaan kota adalah supaya kehidupan dan penghidupan warga kota yang aman,
tertib, lancar, dan sehat (ATLAS).
2. Penatagunaan
Tanah di Pedesaan
Menurut Pasal 1
angka 23 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan pedesaan,
adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman
pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam penggunaan tanah di kawasan pedesaan adalah:
a. Pada umumnya digunakan untuk suatu kegiatan yang memerlukan tanah
(tempat/ruang) yang luas, misalnya untuk kegiatan pertanian, perikanan,
peternakan, dan perkebunan.
b. Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pedesaan
adalah aktivitas hidupnya bertumpu pada sektor pertanian.
c. Jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan adalah sedikit,
sedangkan tanah yang tersedia masih cukup luas.
Dalam peraturan perundang-undangan, penatagunaan tanah di pedesaan
berasaskan lestari, optimal, serasi, dan seimbang (LOSS) disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 13 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
B.
Penatagunaan
menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004
1.
Ketentuan Umum
Penatagunaan Tanah
Ketentuan yang
mengatur tentang penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 26
Tahun 2007, yaitu:
1. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.
2. Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan rencana penatagunaan
tanah, neraca penatagunaan air, neraca penatagunaan udara, dan neraca
penatagunaan sumber daya alam lain.
3. Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan
prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari
pemegang hak atas tanah.
4. Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung,
diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang
bersangkutan akan melepaskan haknya.
Beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan penatagunaan tanah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah,
yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait
dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil.
2. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antar orang per orang,
kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3. Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi, baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
4. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah
tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
5. Hak atas tanah adalah hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
6. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional yang telah
ditetapkan.
2.
Asas dan Tujuan
Penatagunaan Tanah
Azas
penatagunaan tanah ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2004, yaitu:
1. Asas keterpaduan, maksudnya adalah penatagunaan tanah dilakukan
untuk mengharmoniskan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
2. Asas berdaya guna dan berhasil guna, maksudnya adalah penatagunaan
tanah harus dapat mewujudkan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang.
3. Asas serasi, selaras, dan seimbang, penatagunaan tanah menjamin
terwujudnya antara hak dan kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau
kuasanya, sehingga meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau
pemanfaatan tanah.
4. Asas berkelanjutan, maksudnya yaitu penatagunaan tanah menjamin
kelestarian fungsi tanah demi memerhatikan kepentingan antar generasi.
5. Asas keterbukaan, keadilan, dan perlindungan hukum, yaitu
penyelenggaraan tata guna tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar pemilik
tanah, sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan memanfaatkan
tanah.
3.
Tujuan
Penatagunaan Tanah
Tujuan penataan
tanah ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1. Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi
berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah.
2. Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar
sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
3. Mewujudkan tata tertib pertahanan yang meliputi penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta
pengendalian pemanfaatan tanah.
4. Menjamin kepastian hukum untuk mengusai, menggunakan, dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.
4.
Pokok-pokok
Penatagunaan Tanah
Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menetapkan bahwa dalam rangka pemanfaatan
ruang dikembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan penatagunaan
udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Salah satu penatagunaan adalah
penatagunaan tanah.
Penatagunaan
tanah merupakan kegiatan dibidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan
budi daya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan. Yang termasuk kawasan lindung adalah:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara
kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air.
2. Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, dan kawasan sekitar pantai.
3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka
alam, kawasan suakan alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan
baku, taman nasional, taman hutan rakyat, taman wisata alam, cagar alam, suaka
marga satwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
4. Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan
gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, rawan tanah longsor, rawan gelombang
pasang, dan kawasan rawan banjir.
5. Kawasan lindung lainnya, misalnya taman baru, cagar biosfir,
perlindungan plasma nutfah, dan terumbu karang.
Kawasan budi
daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan
atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan. Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawsan
peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan
pertanian, perikanan, pertambangan, pemukiman, industri, kawasan tempat ibadah,
kawasan tempat pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.
Penatagunaan
tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten/Kota. RTRW ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. RTRW
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan
pembangunan dalam memanfaatkan ruang di daerah tersebut, dan sekaligus menjadi
dasar dalam pemberian rekomendasi penghargaan pemanfaatan ruang, sehingga
pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.
Penatagunaan
tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Jangka waktu RTRW sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 26 dan Pasal 28 UU No. 26 Tahun 2007 adalah 20 (dua
puluh) tahun. Penatagunaan dilakukan secara bertahap melalui penetapan
penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang akan dilakukan
oleh Pemerintah, instansi yang membidangi Pertanahan di Kabupaten Kota, dan
masyarakat secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan rencana
waktu RTRW yang telah ditetapkan.[9]
Penatagunaan
tanah di kawasan lindung dan kawasan budi daya dilaksanakan melalui:
1. Kebijakan penatagunaan tanah, meliputi penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagai pedoman umum
penatagunaan tanah di daerah.
2. Penyelenggaraan penatagunaan tanah, meliputi:
a. Penetapan
rencana kegiatan penatagunaan tanah.
b. Pelaksanaan
kegiatan penatagunaan tanah.
5.
Kebijakan
Penatagunaan Tanah
Pasal 6
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menetapkan bahwa kebijakan penatagunaan
tanah diselenggarakan terhadap:
1. Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, baik yang sudah atau
belum didaftar. Bidang tanah yang sudah ada haknya dapat berupa Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Sewa Untuk Bangunan. Tanah
yang sudah terdaftar adalah tanah yang sudah didaftarkan ke Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang telah diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya,
sedangkan tanah yang belum didaftar adalah tanah yang belum didaftarkan ke
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sehingga belum diterbitkan sertifikat.
2. Tanah negara, yaitu tanah yang belum ada haknya atau belum dibebani
dengan hak atas tanah tertentu.
3. Tanah ulayat, yaitu tanah yang dikuasai secara bersama-sama oleh
masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6.
Penyelenggaraan
Penatagunaan Tanah
Pasal 21
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menetapkan bahwa penyelenggaraan penatagunaan
tanah dilakukan terhadap:
1. Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, baik yang sudah atau
belum didaftar.
2. Tanah negara.
3. Tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka
menyelenggarakan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan yang meliputi:
a. Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah.
b. Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan.
c. Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
7.
Pembinaan dan
Pengendalian Penyelenggaraan Penataan Ruang
Ketentuan-ketentuan
mengenai pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah diatur
dalam Pasal 25 hingga Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1.
Dalam rangka
pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah, Pemerintah
melaksanakan pemantauan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
2.
Pemantauan
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah diselenggarakan melalui
pengelolaan sistem informasi geografis penatagunaan tanah.
3.
Pembinaan atas
penyelenggaraan penatagunaan tanah dilakukan oleh Pemerintah.
4.
Pembinaan atas
penyelenggaraan penatagunaan tanah meliputi pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, dan arahan.
5.
Pedoman,
bimbingan, pelatihan, dan arahan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan peraturan
perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
6.
Pengendalian
penyelenggaraan penatagunaan tanah meliputi pengawasan dan penertiban.
7.
Pengawasan
terhadap pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan cara supervisi dan pelaporan.
8.
Supervisi dan
pelaporan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
tentang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan tentang pembinaan
dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
9.
Penertiban
terhadap pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
10. Penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan administratif agar
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah. Tindakan administratif diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi
administrasi.
11. Pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah terhadap pemegang hak
atas tanah diselenggarakan pula dengan pemberian insentif dan pengenaan
disinsentif.
12. Perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan
rangsangan terhadap kegiatan yang sesuai dengan tujuan penatagunaan tanah.
13. Perangkat disintensif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi
atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan penatagunaan tanah,
misalnya dalam bentuk peninjauan kembali hak atas tanah, dan pengenaan pajak
yang tinggi. Peninjauan kembali hak atas tanah tersebut didasarkan pada
ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar. Disinsentif dikenakan kepada pemegang hak atas tanah yang belum
melaksanakan penyesuaian penggunaan tanahnya.
C.
STUDI KASUS
Contoh kasus yang disebabkan dari
carut-marutnya hukum pertanahan di indonesia:
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat)
antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono)
dengan PT. Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan
oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007
yang hak atas tanahnya sudah milik warga yang sekarang tinggal di meruya dan
sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik. Kasus sengketa tanah
meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan dalam
masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak
merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah
dari PT Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000
kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan
MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat
fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi.
Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30
tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, dimana warga meruya
sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan
kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan
sertifikat tanah yang masih bersengketa. Kasus sengketa tanah ini berawal pada
kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal
dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri
cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka
dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996). Sengketa tanah
yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu
singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni,
lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah
silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah
meruya tersebut.
Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan
baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak
ingin kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya
berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan
mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah
banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki
sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan
dalam memperoleh sertifikat tanah. Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum
pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang
bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT.
Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra
yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi
tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi
tanahnya yang lahannya sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat
tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.
Penyelesaian kasus sengketa tanah meruya:
Pihak PT. Portanigra
bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT.
Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang
memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas
tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik
sebelumnya. Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra
hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus
Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli
langsung hak kepemilikan tanah ke PT. PortaNigra.
Barokallah, . terimakasih kak
ReplyDeletesama-sama kak
ReplyDelete