Penyelesaian Sengketa Kontrak (Legal Contract Drafting)
BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK
A.
Bentuk-bentuk Penyelesaian
Sengketa kontrak
Pada dasarnya setiap kontrak
(perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela
atau iktikad baik, namun dalam kenyataannya kontrak yang dibuatnya seringkali
dilanggar. Persoalannya kini, bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang
terjadi di antara para pihak? Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu (1) melalui pengadilan, dan (2) alternatif penyelesaian
sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang
diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat
(10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan
Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR
dibagi menjadi lima cara, yaitu:
1. Konsultasi,
2. Negoisasi,
3. Mediasi,
4. Konsiliasi, atau
5. Penilaian ahli
Di dalam literature juga disebutkan dua
pola penyelesaian sengketa, yaitu the binding adjudicative procedure dan the
nonbinding adjudicative procedure.
1. The binding adjudicative
procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan
perkara hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesian sengketa ini dapat dibagi
menjadi empat macam, yaitu:
(1) Litigasi,
(2) Arbitrase
(3) Mediasi arbitrase, dan
(4) Hakim pertikelir
2. The nonbinding adjudicative
procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan
perkara hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian
sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:
(1) Konsiliasi
(2) Mediasi
(3) Mini trial
(4) Summary jury trial
(5) Neutral expert fact-finding,
dan
(6) Early expert neutral
evaluation (Rudjiono, 1996: 3)
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat
dari putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Kalau the binding
adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan
perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding adjudicative
procedure, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan
adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan
tersebut. Persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut adalah
sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.
Kesepuluh jenis sengketa tersebut
dijelaskan dalam sub-sub bab berikut ini.[1]
Secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa
melalui pengadilan, yaitu karena hal sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan sangat lambat
Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buang waktu
lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat
teknis.
2. Biaya perkara yang mahal
Biaya
perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat
mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena
semakin lama penyelesaian sengketa semakin banyak pula biaya yang harus
dikeluarkan.
3. Pengadilan pada umumnya tidak
responsive
Tidak
responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya
pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum.
4. Putusan pengadilan tidak
menyelesaian masalah
Putusan
pengadilan dianggap tidak menyelesaian masalah bahkan dianggap semakin
memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu
memuaskan serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para
pihak.
5. Kemampuan para hakim yang
bersifat generalis
Para
hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan
globalisasi sekarang karena pengetahuan yang dimiliki hanya di bidang hukum,
sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum bahkan awam.
Berdasarkan berbagai kekurangan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah sehingga dalam dunia bisnis
pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi
di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat
ditempuh dengan berbagai cara ADR tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi,
minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya.
Sementara itu, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari
alternatif penyelesaian sengketa karena yang termasuk dalam alternatif
penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli.
Walaupun terdapat berbagai cara yang
dapat ditempuh untuk menyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang akan
dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana yang
lazim digunakan.[2]
B.
Litigasi
Litigasi merupakan suatu proses gugatan,
suatu sengketa diritualisasikan yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu
para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan
yang bertentangan.
Penggunaan sistem litigasi mempunyai
keuntungan dan kekurangannya dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya,
yaitu:
1.
Dalam
mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam
batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan
dapat menjamin ketentraman sosial.
2.
Litigasi
sagat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi
pihak lawan
3.
Litigasi
memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang
luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil
keputusan.
Dapat dikatakan bahwa litigasi tidak
hanya menyelesaian sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk
ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun
implisit. Namun litigasi setidak-tidaknya sebagaimana terdapat di Amerika
Serikat, memiliki banyak kekurangan (drawbacks) (Garry Goddpaster, dkk, 1995:6).
Kekurangan litigasi, yaitu:
1. Memaksa para pihak pada
posisi yang ekstern:
2. Memerlukan pembelaan
(advocacy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan
3. Litigasi benar-benar
mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi
(substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para
pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan seringkali marginal
Proses litigasi mensyaratkan pembatasan
sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil
keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.
C.
Arbitrase
a. Pengertian Arbitrase
Di
dalam pasa 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 telah dicantumkan
pengertian arbitrse. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang bersengkta. Frank Alkoury dan Eduar Elkoury,
mengartikan arbitrase adalah sebagai :
“Suatu
proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang
ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan
mereka. Dimana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.
Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan
mengikat (dalam M. Husseyn Umar dan A. Suiani Kardono, tt: 2).
Para pihak yang berselisih,
baik atas kehendak mereka senidir atau atas anjuran pegawai Depnaker/P4D yang
memberikan perantaraan, dapat menyerahkan penyelesaian mereka pada seorang juru
pemisah (Arbiter) atau suatu dewan pemisah (Majelis Arbitrase). Penyerahan
tersebut harus dibuat secara tertulis dalam bentuk perjanjian kedua belah pihak
dihadapan pegawai Depnaker/P4D.[3]
Unsur-unsur
arbitrase yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun
1999, yaitu:
1.
Penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan umum
2.
Berdasarkan
perjanjian arbitrase
3.
Bentuk
perjanjian tertulis, dan
4.
Disepakati
para pihak
Perjanjian arbitrase dibuat pada sebelum
dan sesudah timbulnya sengketa. Proses yang mudah atau simpel adalah suatu
proses yang tidak memerlukan prosedur dan syarat-syarat yang berbelit-belit dan
panjang, sebagaimana yang terjadi dalam perkara litigasi.
b.
Dasar
Hukum
Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase
diatur di dalam RV dan HIR. RV atau Burgerlijke Reglement op de
Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang tata cara
beracara yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu.
Ketentuan tentang arbitrase di dalam RV diatur dalam pasal 615 sampai dengan
pasal 651 RV.
Ada tiga pertimbangan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu:
1)
Bahwa
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata, di samping dapat diajukan ke pengadilan umum juga terbuka kemungkinan
melalui arbitrase penyelesaian sengketa;
2)
Bahwa
peraturan perunang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
3)
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan b, perlu
membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
c.
Jenis-jenis
lembaga arbitrase
Lembaga arbitrase dibagi dua macam,
yaitu (1) arbitrase ad hoc dan (2) arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc
atau valunter adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu
kali penunjukan (M Yahya Harahap. 1991: 150). Sedangkan arbitrase institusional
(institusional arbitration) adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York, 1958). Arbitrase institusional
dibagi menjadi dua sifat, yaitu nasional dan internasional (Pasal 59 dan 65
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999).
d. Alasan Memilih Arbitrase
Di dalam laporan Seminar Nasional
Mengenai Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dicantumkan tiga
alasan pemilihan institusi arbitrase, yaitu sebagai berikut:
1) Penyelesaian cepat
Umumnya
prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam
setiap tahap penyelesaian sengketa.
2) Terjaga kerahasiannya
(confidential)
Proses
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup (Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1991) dan tidak ada publikasi.
3) Biaya lebih rendah
Biaya
arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: (1) honorarium, (2)
biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa, dan
(3) biaya administrasi (Pasal 76 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999). Jasa
pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, karena prosedur arbitrase
dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan dapat dengan tata cara yang
diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri.
Putusan
arbitrase mudah dilaksanakan, dibandingkan dengan putusan pengadilan. Hal ini
disebabkan putusan arbitrase pada umumnya bersifat final dan tidak dapat
diajukan banding, kecuali atas dasar hal-hal yang sangat khusus.
4) Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase
Pada
dasarnya tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase adalah
a. Sengketa di bidang
perdagangan, dan
b. Mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa
Sengketa
uang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5
undang-undang Nomor 30 tahun 1999).
5) Bentuk klausula perjanjian
arbitrase
Bentuk
klausula perjanjian arbitrase diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 11
undang-undang nomor 30 tahun 1999. Di dalam ketentuan itu, klausula perjanjian
arbitrase dibagi dua maca, yaitu:
a. Pactum de compromittendo
Yang
dimaksud dengan pactum de compromittendo adalah perjanjianj arbitrase yang
dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Pactum de compromittendo ini biasa juga
dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini bahwa
para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (pasal 7 Undang-undang Nomor 30 tahun
1999).
b. Akta kompromis
Yang
dimaksud dengan akta kompromis adalah suatu akta yang berisi perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa.
6) Prosedur penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase
Prinsip-prinsip
atau asas-asas dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah
sebagai berikut:
a. Semua pemeriksaan sengketa
dilakukan secara tertutup
b. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para
pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan
c. Para pihak yang bersengketa
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya
masing-masing
d. Para pihak yang bersengketa
dapat diwakili oleh kuasanya dengan suratkuasa khusus
e. Pihak ketiga di luar perjanjian
arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Syaratnya (1) terdapat unsur kepentingan yang
terkait, (2) keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan
(3) disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase.
f. Para pihak bebas untuk
menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Denganj
syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis.
g. Semua sengketa yang
penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa
dan diputuskan menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
h. Atas permohonan salah satu
pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil keputusan provional atau
putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa
termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga, atau menjual barang yang rusak.
i. Arbiter atau majelis
arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan
terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase adalah pemohon mengajukan permohonan
pemeriksaan sengketa secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase.
Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak. Setelah
menerima permohonan tersebut, langkah-langkah yang dilakukan oleh arbiter atau
majelis arbitrase sebagai berikut:
-
Dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase pemohon harus
menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbiter.
-
Setelah
menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase
menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai perintah bahwa
termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tersebut oleh
termohon.
Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu itu dapat diperpanjang,
asal ada persetujuan para pihak dan diperlukan. Supaya dapat mengambil
keputusan dengan adil dan patut maka arbiter atau majelis arbitrase, mempunyai
kewenangan untuk:
a.
Menentukan
tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak
b.
Mendengar
keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada empat
tertentu di luar tempat arbitrase diadakan
c.
Pemeriksaan
saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase
d.
Mengadakan
pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan.
Keempat kewenangan harus dapat
dijalankan dengan baik oleh para arbiter atau majelis arbitrase.
7) Pendapat dan putusan
arbitrase
Selain kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak
untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan
tertentu dari suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat ini tidak dapat
dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apa pun. Pendapat atau putusan lembaga
arbitrase itu harus dituangkan dalam putusan arbitrase.
Apabila putusan arbitrase tidak
ditandatangani oleh seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia
tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
Arbiter atau majelis arbitrase mengambil
putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah putusan. Para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter
atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan
administrative dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
8) Pembatalan putusan arbitrase
Pada dasarnya putusan arbitrase dapat
dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase yang dapat
dimintakan pembatalan, apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang
diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan diajukan diakui palsu atau
dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan diambil dari hasil
tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Permohonan pembatalan putusan arbitrase
harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Pengadilan Negeri.
9) Berakhirnya tugas arbiter
Berakhirnya tugas arbiter diatur dalam
pasal 73 sampai dengan pasal 74 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999. Tugas
arbiter berakhir karena:
a. Putusan mengenai sengketa
telah diambil,
b. Jangka waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh pihak
telah lampau, atau
c. Para pihak sepakat untuk
menarik kembali penunjukan arbiter
Meninggalnya salah satu pihak tidak
mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir
D.
Mediasi-Arbitrase (Med-ARB)
Salah satu variasi dari mediasi adalah
suatu prosedur di mana sengketa pertama kali diselesaikan dengan mediasi dan
berikutnya bilamana perlu terhadap isi isu yang tidak terselesaikan dilakukan
melalui arbitrase. Bila mediasi gagal menyelesaikan sengketa itu, mediator akan
memberi saran kepada para pihak hasil apa yang kira-kira akan diperoleh bila
kasus tersebut diselesaikan melalui arbitrase, tetapi mediator tidak
diperkenankan menjadi arbiter dalam sengketa tersebut. Para pihak sebelumnya
harus telah menyetujui bahwa bila mereka tidak dapat menyelesaikan sengketa
mereka melalui mediasi, mereka akan menyerahkan sengketanya kepada orang lain
atau suatu panel untuk suatu arbitrase yang mengikat.
E.
Konsiliasi
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa
di luar pengadilan adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, dan The International Chamber of
Commerce (ICC).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan pengertian konsiliasi. Konsiliasi adalah suatu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan
menyelesaikan perselisihan tersebut. Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi
adalah:
“Suatu proses penyelesaian sengketa
dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan
/ menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan
mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan
suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat” (dalam Huala Adolf dan A.
Chanderawulan, 1995: 186).
Konsiliasi diletakkan dalam suatu
konseksitas dengan mediasi dan arbitrase (mediasi-konsiliasi-arbitrase). Proses
penyelesaiannya dilakukan secara berhatap, derajat permusuhan yang dapat
terjadi sebagai hasil dari litigasi.
F.
Mediasi
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses
penyelesaian sengketa. Dalam prose satu pihak ketiga bertindak sebagai
penasihat.
Mediasi merupakan Suatu proses
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara
mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.
Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan
procedural dan substansial.[4]
Apabila diperhatikan kedua definisi di atas, ada lima unsur yang tercantum dalam
pengertian mediasi, yaitu:
5.
Proses
negoisasi
6.
Metode
penyelesaian masalah
7.
Dilakukan
secara sukarela
8.
Dilakukan
secara netral
9.
Rahasia
10.
Kooperatif
11.
Tidak
ada unsur paksaan, dan
12.
Mencapai
consensus
Pada dasarnya tujuan mediasi adalah
untuk consensus para pihak tentang konflik yang timbul diantara para pihak.
Tujuan mediasi adalah tidak untuk
menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak
untuk:
a. Menemukan jalan keluar dan
pembaruan perasaan
b. Melenyapkan kesalahpahaman
c. Menentukan kepentingan yang
pokok
d. Menemukan bidang-bidang yang
mungkin dapat persetujuan, dan
e. Menyatujuan bidang-bidang
tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak (Rudhiono, 1996).
Dari berbagai manfaat yang dipaparkan di
atas maka manfaat yang paling esensi dari mediasi adalah murah, cepat, dan
komunikasi di antara p;ara pihak. Karena mediasi ini difokuskan untuk
menyelesaikan persoalan secara damai.
G.
Mini-Trial
Persidangan/pemeriksaan mini merupakan
suatu negoisasi terstruktur yang biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi
yang tidak mengikat. Hal ini dilakukan dihadapan suatu panel yang terdiri dari
para pihak dan kadang-kdang seorang penasihat netral yang melaksanakan berbagai
fungsi. Setelah persidangan mini, para wakil pihak-pihak dapat bertanya kepada
penasihat netral mengenai suatu pendapat seperti pada hasil persidangan pada
umumnya. Bilamana kasus tidak terselesaikan, para pihak bebas untuk memulai
lagi dengan proses penyelesaian sengketa yang lain, termasuk litigiasi.
Biasanya disepakati bahwa keseluruhan proses akan dilakukan secara
konfidensial.
H.
Summary Jury Trial
Summary juri trial adalah suatu
persidangan jury secara summir yang terdiri dari presentasi singkat para
pengacara tentang suatu kasus perdata. Hal itu dilakukan kepada para juri
(dipilih dengan menggunakan cara yang sama sebagaimana diperlukan dalam
persidangan formal), yang dimohon untuk memberikan keputusan yang tidak mengkat
(advisory). Ini merupakan kombinasi dari argumentasi pembukaan dan penutupan
dengan suatu ulasan tentang pembuktian persidangan yang diharapkan.
Prosedur ini yang secara khas
berlangsung satu hari, dirancang untuk persidangan perkara perdata ang kompleks
yang dapat berlangsung selama seminggu bahkan sebulan. Wakil para pihak dengan
kewenangan untuk menyelesaikan kasus biasanya diminta untuk menghadiri
persidangan itu. Setelah putusan yang tidak mengikat itu dinyatakan, para pihak
dan penasihat diberikan kesempatan untuk menanyai juri mengenal keputusan
mereka. Negoisasi-negoisasi penyelesaian diharapkan berlangsung setelah itu.
I.
Neutral Expert Fact-Finding
Neutral expert fact-finding adalah
penunjukkan seorang ahli yang netral oleh para pihak untuk membuat penemuan
fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi
tersebut secara mengikat. Penunjukkan ini dilakukan sebelum memulai litigasi.
Bilamana suatu sengketa sudah
benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral yang ditunjuk oleh pengadilan
ataupun oleh pihak-pihak dapat mengarahkan para pihak untuk melakukan
reevaluasi estimasi apa kiranya yang akan mereka peroleh dan dalam
menjemabatani / memperpendek perbedaan-perbedaan di antara mereka.
J.
Early Neutral Evaluation
Program ini bertujuan untuk mengurangi
biaya-biaya serta hambatan-hambatan dalam melakukan proses litigasi. Di dalam
program ini, seorang praktisi hukum yang handal, netral, berpengalaman,
membantu para pihak dan penasihat, sebelum pemeriksaan pendahuluan,
menganalisis isu-isu kritis yang dipertengkarkan, kebutuhan mereka dalam pemeriksaan
pendahuluan, kekuatan dan kelemahan relatif mereka, nilai keseluruhan dari
kasus tersebut. Sang penilai secara jujur memberikan penilaian terhadap hal-hal
itu dan membantu pihak yang bersengketa menyusun sendiri suatu rencana untuk
berbagai informasi dan atau memimpin pemeriksaan pendahuluan yang bertujuan m
[1] Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 140-141
[2] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 111-113
[3] Gunawan
Widjaja, Alternative Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), hal. 47.
[4] Takdir
Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 12-13.
Terimaksih kak... Membantu
ReplyDelete