Wakaf - Hadist Ahkam
ََعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ ) رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
عَنْ : Dari
أَبِي هُرَيْرَةَ
: Abu Hurairah
رضي الله عنه
: Semoga Allah Meridhainya
أَنَّ : Bahwa
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : Rasulullah SAW.
قَالَ : Bersabda
إِذَا : Apabila
مَاتَ : Meninggal
اَلْإِنْسَانُ
: Seorang Manusia
اِنْقَطَعَ
: Putus
عَنْهُ
: Dari
عَمَلُهُ
: Amal/perbuatannya
إِلَّا
: Kecuali
مِنْ : Dari
ثَلَاثٍ
: Tiga
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
: Sedekah Jariyah
أَوْ : Atau
عِلْمٍ
: Ilmu
يُنْتَفَعُ بِهِ
: Bermanfaat
أَوْ : Atau
وَلَدٍ
: Anak
صَالَحٍ
: Shaleh
يَدْعُو لَهُ
: Mendoakannya
رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
: Riwayat Muslim
Artinya:
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya
kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang
bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya." Riwayat Muslim”.
Adapun penafsiran dari shadaqah jariyah dalam
hadist di atas adalah waqaf, karena hadist tersebut dikemukan dalam bab waqaf,
dan para ulama menafsirkan shadaqah jariyah sebagai waqaf.
Kata “Waqaf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa”
berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. [1]
dalam bahasa Arab al-Waqf mempunyai beberapa pengertian :
الوقف بمعن النحبيس والتسبيل
Artinya: “Menahan,
menahan harta untuk diwaqafkan, tidak untuk dipindah milikkan”
Menurut istilahnya, ahli fiqh berbeda pendapat dalam
menjelaskan hakikat dari waqaf. Berbagai pandangan tentang waqaf menurut
istilah sebagai berikut:[2]
1. Abu Hanifah
Waqaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si
waqif dalam rangka mempergunakan manfaatnyaunruk kebajikan.
2. Madzab Maliki
Madzab ini berpendapat bahwa waqaf itu tidak melepaskan harta yang
diwaqafkan dari kepemilikan waqif, namun waqaf tersebut mencegah waqif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut
kepada yang lain dan waqif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali waqafnya.
3. Madzab Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal
Waqaf adalah melepaskan harta yang diwaqafkan dari kepemilikan waqif,
setelah sempurna prosedur pewaqafan.
Dalam sejarah Islam, waqaf dikenal
sejak Rasulullah SAW. Hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan waqaf.
Menurut sebagian pendapat ulama yang pertama kali melakukan waqaf adalah
Rasulullah SAW. Yang mewaqafkan tanahnya untuk dibangun masjid. Pendapat ini
berdasarkan hadist yang diriwayatkan Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin
Mu’ad, ia berkata “Kami bertanya tentang mula-mula waqaf dalam Islam? Orang
Muhajirin mengatakan adalah waqaf Umar bin Khattab, dan orang Anshor mengatakan
adalah waqaf Rasulullah SAW.” (As-Syaukani: 192).
Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat waqaf adalah Umar bin
Khathab. Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. Ia
berkata:
َوَعَنْ
اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا
بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا,
فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ
مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا,
وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا
يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي
اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا
جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ
صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ
لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا
يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )
Artinya: “Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu
'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai
Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum
pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda:
"Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil
(buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya
tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada
kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah,
musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan
sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, "Umar
menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi
disedekahkan hasilnya.”
Kemudian syariat waqaf yang telah
dilakukan oleh Umar bin Khathab disusul oleh Abu Thalhah dan sahabat Nabi SAW.
Lainnya seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan para
sahabat lainnya. Dan itulah awal mula perwaqafan pada masa Rasulullah, dan
kemudian perwaqafan terus berkembang sampai didirikannya lembaga khusus yang
menangani waqaf-perwaqafan pada masa Dinasti Umayyah. Dari itu, lembaga
perwaqafan terus berkembang sampai sekarang.
Dalil yang
menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari:[3]
1.
Ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
Q.S Al-Haj: 77
“Perbuatlah
Kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Q.S Ali Imran:
92
“Kamu
sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengakui”
Q.S Al-Baqarah:
261
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa
saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha
Mengetahui”.
2.
Sunnah Rasulullah SAW.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : (
بَعَثَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عُمَرَ عَلَى اَلصَّدَقَةِ)
اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ : ( وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ اِحْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ
وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya: “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk memungut zakat -
dan didalamnya hadits disebutkan- adapun Kholid, dia telah mewakafkan baju-baju
besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah. Muttafaq Alaihi”.
Ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa waqaf itu,
maka waqaf dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
Yaitu waqaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang
atau lebih, keluarga si waqif ata bukan. Waqaf ini juga disebut sebagai Waqaf
Dzurri.
Waqaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan
hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
tentang adanya waqaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung
hadist tersebut dinyatakan:
قد سمعت ما قلت فيها، وانى ارى ان تجعلها فى الاقربين، فقسمها ابو
طلحة فى اقاربه وبنى عمهه
“Aku telah
mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu
memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk
para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Yaitu, waqaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan)
atau kemasyarakatan (kebajikan umum).[4]
Seperti waqaf yang diserahkan untuk pembangunan Masjid, sekolah, jembatan,
rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Jenis waqaf ini seperti yang dijelaskan dalam hadist Nabi SAW. Yang
menceritakan tentang waqaf sahabat Umar bin Khathab. Beliau memberikan hasil
kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba
sahaya yang berusaha menebus dirinya. Dalam tinjauan penggunaannya, waqaf jenis
ini jauh lebih banyak manfaatnya disbanding dengan waqaf Ahli, karena tidak
terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis waqaf inilah
yang paling sesuai dengan tujuan perwaqafan itu sendiri.
Waqaf
dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun waqaf ada 4,
yaitu:[5]
1.
Wakif (orang yang mewakafkan harta);
2.
Mauquf bih (barang atau harta yang diwaqafkan);
3.
Mauquf ‘Alaihi (pihak yang diberi waqaf/peruntukan waqaf);
4.
Shighat (pernyataan atau ikrar waqaf sebagai suatu kehendak untuk
mewaqafkan sebagian harta bendanya).
a)
Syarat Waqif
Orang yang
mewaqafkan hartanya disyaratkan memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan
hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria:
-
Merdeka
-
Berakal sehat
-
Dewasa (Baligh)
-
Tidak dibawah pengampuan (boros/lalai)
b)
Syarat Mauquf bih (harta yang diwaqafkan)
Harta yang akan
diwaqafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
-
Harta yang diwaqafkan harus mutaqawwan
-
Menurut Madzab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan
halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat).
-
Diketahui dengan yakin ketika diwaqafkan
-
Milik Waqif
-
Terpisah, bukan milik bersama
c)
Syarat Mauquf ‘Alaih (penerima waqaf)
Waqaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan syariat Islam. Karena, pada dasarnya waqaf adalah salah satu hal
yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itu, pihak mauquf haruslah
pihak kebajikan.
d)
Syarat Shighad
Shighad waqaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang
yang berakad untuk mrnyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.
Namun shighat waqaf cukup dengan ijab saja dari waqif tanpa memerlukan qabul
dari mauquf ‘alaih. Ucapan shighat harus jelas akan apa yang diwaqafkan dan
seberapa benda atau harta yang akan diwaqafkan.
Waqaf adalah suatu pemberian manfaat sebagian atau sepenuhnya dari
penggunaan/pengelolaan benda atau harta yang diwaqafkan oleh waqif kepada pihak
(Mauquf ‘alaih) yang akan menggunakan (manfaatnya). Tujuan dari waqaf sendiri
pada dasarnya adalah demi kemaslahatan (kebajikan) umat manusia. Adapun hikmah
dari waqaf antara lain:[6]
1.
Sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah SWT.
2.
Membuka jalan bagi orang beriman yang suka memberi waqaf dan
berlumba-lumba dalam kebajikan dan mengharapkan pahala.
3.
Memberikan pahala secara berterusan kepada si pewaqaf (waqif)
selepas kematiannya, sebagaimana harta waqaf tersebut kekal dimanfaatkan.
4.
Untuk kebaikan Islam, seperti mebina masjid, surau, tanah
perkuburan dan sebagainya.
5.
Membantu mengurangkan beban orang fakir dan miskin serta anak
yatim.
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas, dapat kita simpulkan bahwa waqaf adalah memberikan manfaat atas suatu
barang atau harta kepada orang lain tanpa memindahtangankan kepemilikan barang
atau harta yang telah dipergunakan/diserahkan (diwaqafkan) manfaatnya kepada
orang lain. Waqaf sendiri sudah dilaksanakan oleh umat muslim sejak Rasulullah
SAW. Hijrah ke Madinah. Meskipun para ulama dan sejarawan Islam berbeda
pendapat dalam memastikan siapa yang pertama kali melakukan waqaf. Akan tetapi
perbedaan itu berdasarkan dalil-dalil (Hadist yang kuat).
Waqaf ada dua
macam jika ditinjau dari peruntukannya, yaitu Waqaf Ahli dan Waqaf Khairi. Ada
beberapa rukun yang harus terpenuhi dalam perwaqafan, yaitu Wakif (orang yang
mewakafkan harta); Mauquf bih (barang atau harta yang diwaqafkan); Mauquf
‘Alaihi (pihak yang diberi waqaf/peruntukan waqaf); Shighat (pernyataan atau
ikrar waqaf sebagai suatu kehendak untuk mewaqafkan sebagian harta bendanya).
Dasar hukum
waqaf dijelaskan di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, meskipun memang perwaqafan
tidak terlalu banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an juga As-Sunnah, tetapi hukum
waqaf sudahlah pasti. Tujuan perwaqafan tidak lain adalah demi keberlangsungan
umat manusia di muka bumi dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Khathib, Muhammad. al-Iqna’. Bairut: Darul Ma’rifah.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu. Damaskus:
Dar al-Fiqr al-Mu’ashir.
Djunaidi, Ahmad. dkk. 2007. Fiqih Waqaf. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Waqaf-Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam-Departemen
Agama RI.
Sabiq, Sayyid. 1971. Fiqhu as-Sunnah. Lebanon: Dar
AL-‘Arabi.
Nawawi. Ar-Raudhah. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Asy-Syarbini. Mughni al-Muhtaj. Kairo: Musthafa Halabi.
[1] Muhammad
al-Khathib, al-Iqna’, (Bairut: Darul Ma’rifah), hal. 26 dan Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fiqr
al-Mu’ashir), hal. 7599.
[2] Ahmad
Djunaidi, dkk., Fiqih Waqaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Waqaf-Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam-Departemen Agama RI, 2007),
hal. 2.
[3] Ibid., hal.
11-14.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhu
as-Sunnah, (Lebanon: Dar AL-‘Arabi, 1971), hal. 378.
[5] Nawawi, Ar-Raudhah,
(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, (Kairo: Musthafa Halabi), II, hal. 378.