December 2015

Wednesday, December 30, 2015

Wakaf - Hadist Ahkam



Hadist Ahkam: WAKAF
Oleh: Nur Habib Fauzi

ََعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ )  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ



عَنْ : Dari
أَبِي هُرَيْرَةَ : Abu Hurairah
رضي الله عنه : Semoga Allah Meridhainya
أَنَّ : Bahwa
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : Rasulullah SAW.
قَالَ : Bersabda
إِذَا : Apabila
مَاتَ : Meninggal
اَلْإِنْسَانُ : Seorang Manusia
اِنْقَطَعَ : Putus
عَنْهُ : Dari
عَمَلُهُ : Amal/perbuatannya
إِلَّا : Kecuali
مِنْ : Dari
ثَلَاثٍ : Tiga
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ : Sedekah Jariyah
أَوْ : Atau
عِلْمٍ : Ilmu
يُنْتَفَعُ بِهِ : Bermanfaat
أَوْ : Atau
وَلَدٍ : Anak
صَالَحٍ : Shaleh
يَدْعُو لَهُ : Mendoakannya
رَوَاهُ مُسْلِم ٌ : Riwayat Muslim



Artinya: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya." Riwayat Muslim”.
Adapun penafsiran dari shadaqah jariyah dalam hadist di atas adalah waqaf, karena hadist tersebut dikemukan dalam bab waqaf, dan para ulama menafsirkan shadaqah jariyah sebagai waqaf.
Kata “Waqaf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. [1] dalam bahasa Arab al-Waqf mempunyai beberapa pengertian :
الوقف بمعن النحبيس والتسبيل
Artinya: “Menahan, menahan harta untuk diwaqafkan, tidak untuk dipindah milikkan”

Menurut istilahnya, ahli fiqh berbeda pendapat dalam menjelaskan hakikat dari waqaf. Berbagai pandangan tentang waqaf menurut istilah sebagai berikut:[2]
1.      Abu Hanifah
Waqaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si waqif dalam rangka mempergunakan manfaatnyaunruk kebajikan.
2.      Madzab Maliki
Madzab ini berpendapat bahwa waqaf itu tidak melepaskan harta yang diwaqafkan dari kepemilikan waqif, namun waqaf tersebut mencegah waqif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut kepada yang lain dan waqif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali waqafnya.
3.      Madzab Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal
Waqaf adalah melepaskan harta yang diwaqafkan dari kepemilikan waqif, setelah sempurna prosedur pewaqafan.

Dalam sejarah Islam, waqaf dikenal sejak Rasulullah SAW. Hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan waqaf. Menurut sebagian pendapat ulama yang pertama kali melakukan waqaf adalah Rasulullah SAW. Yang mewaqafkan tanahnya untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “Kami bertanya tentang mula-mula waqaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah waqaf Umar bin Khattab, dan orang Anshor mengatakan adalah waqaf Rasulullah SAW.” (As-Syaukani: 192).
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat waqaf adalah Umar bin Khathab. Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. Ia berkata:
َوَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )

Artinya: “Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, "Umar menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi disedekahkan hasilnya.”

Kemudian syariat waqaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khathab disusul oleh Abu Thalhah dan sahabat Nabi SAW. Lainnya seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya. Dan itulah awal mula perwaqafan pada masa Rasulullah, dan kemudian perwaqafan terus berkembang sampai didirikannya lembaga khusus yang menangani waqaf-perwaqafan pada masa Dinasti Umayyah. Dari itu, lembaga perwaqafan terus berkembang sampai sekarang.

Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari:[3]
1.      Ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
Q.S Al-Haj: 77
“Perbuatlah Kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Q.S Ali Imran: 92
“Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengakui”
Q.S Al-Baqarah: 261
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”.
2.      Sunnah Rasulullah SAW.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : ( بَعَثَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عُمَرَ عَلَى اَلصَّدَقَةِ)  اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ : ( وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ اِحْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya: “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk memungut zakat - dan didalamnya hadits disebutkan- adapun Kholid, dia telah mewakafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah. Muttafaq Alaihi”.

Ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa waqaf itu, maka waqaf dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

Yaitu waqaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si waqif ata bukan. Waqaf ini juga disebut sebagai Waqaf Dzurri.
Waqaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya waqaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung hadist tersebut dinyatakan:

قد سمعت ما قلت فيها، وانى ارى ان تجعلها فى الاقربين، فقسمها ابو طلحة فى اقاربه وبنى عمهه
“Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Yaitu, waqaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).[4] Seperti waqaf yang diserahkan untuk pembangunan Masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Jenis waqaf ini seperti yang dijelaskan dalam hadist Nabi SAW. Yang menceritakan tentang waqaf sahabat Umar bin Khathab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Dalam tinjauan penggunaannya, waqaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya disbanding dengan waqaf Ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis waqaf inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwaqafan itu sendiri.

Waqaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun waqaf ada 4, yaitu:[5]
1.      Wakif (orang yang mewakafkan harta);
2.      Mauquf bih (barang atau harta yang diwaqafkan);
3.      Mauquf ‘Alaihi (pihak yang diberi waqaf/peruntukan waqaf);
4.      Shighat (pernyataan atau ikrar waqaf sebagai suatu kehendak untuk mewaqafkan sebagian harta bendanya).

a)      Syarat Waqif
Orang yang mewaqafkan hartanya disyaratkan memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria:
-          Merdeka
-          Berakal sehat
-          Dewasa (Baligh)
-          Tidak dibawah pengampuan (boros/lalai)
b)      Syarat Mauquf bih (harta yang diwaqafkan)
Harta yang akan diwaqafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
-          Harta yang diwaqafkan harus mutaqawwan
-          Menurut Madzab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat).
-          Diketahui dengan yakin ketika diwaqafkan
-          Milik Waqif
-          Terpisah, bukan milik bersama
c)      Syarat Mauquf ‘Alaih (penerima waqaf)
Waqaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Karena, pada dasarnya waqaf adalah salah satu hal yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itu, pihak mauquf haruslah pihak kebajikan.
d)     Syarat Shighad
Shighad waqaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk mrnyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun shighat waqaf cukup dengan ijab saja dari waqif tanpa memerlukan qabul dari mauquf ‘alaih. Ucapan shighat harus jelas akan apa yang diwaqafkan dan seberapa benda atau harta yang akan diwaqafkan.

Waqaf adalah suatu pemberian manfaat sebagian atau sepenuhnya dari penggunaan/pengelolaan benda atau harta yang diwaqafkan oleh waqif kepada pihak (Mauquf ‘alaih) yang akan menggunakan (manfaatnya). Tujuan dari waqaf sendiri pada dasarnya adalah demi kemaslahatan (kebajikan) umat manusia. Adapun hikmah dari waqaf antara lain:[6]
1.      Sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah SWT.
2.      Membuka jalan bagi orang beriman yang suka memberi waqaf dan berlumba-lumba dalam kebajikan dan mengharapkan pahala.
3.      Memberikan pahala secara berterusan kepada si pewaqaf (waqif) selepas kematiannya, sebagaimana harta waqaf tersebut kekal dimanfaatkan.
4.      Untuk kebaikan Islam, seperti mebina masjid, surau, tanah perkuburan dan sebagainya.
5.      Membantu mengurangkan beban orang fakir dan miskin serta anak yatim.


KESIMPULAN

Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa waqaf adalah memberikan manfaat atas suatu barang atau harta kepada orang lain tanpa memindahtangankan kepemilikan barang atau harta yang telah dipergunakan/diserahkan (diwaqafkan) manfaatnya kepada orang lain. Waqaf sendiri sudah dilaksanakan oleh umat muslim sejak Rasulullah SAW. Hijrah ke Madinah. Meskipun para ulama dan sejarawan Islam berbeda pendapat dalam memastikan siapa yang pertama kali melakukan waqaf. Akan tetapi perbedaan itu berdasarkan dalil-dalil (Hadist yang kuat).
Waqaf ada dua macam jika ditinjau dari peruntukannya, yaitu Waqaf Ahli dan Waqaf Khairi. Ada beberapa rukun yang harus terpenuhi dalam perwaqafan, yaitu Wakif (orang yang mewakafkan harta); Mauquf bih (barang atau harta yang diwaqafkan); Mauquf ‘Alaihi (pihak yang diberi waqaf/peruntukan waqaf); Shighat (pernyataan atau ikrar waqaf sebagai suatu kehendak untuk mewaqafkan sebagian harta bendanya).
Dasar hukum waqaf dijelaskan di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, meskipun memang perwaqafan tidak terlalu banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an juga As-Sunnah, tetapi hukum waqaf sudahlah pasti. Tujuan perwaqafan tidak lain adalah demi keberlangsungan umat manusia di muka bumi dalam melakukan aktivitas sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


al-Khathib, Muhammad. al-Iqna’. Bairut: Darul Ma’rifah.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’ashir.
Djunaidi, Ahmad. dkk. 2007. Fiqih Waqaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Waqaf-Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam-Departemen Agama RI.
Sabiq, Sayyid. 1971. Fiqhu as-Sunnah. Lebanon: Dar AL-‘Arabi.
Nawawi. Ar-Raudhah. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Asy-Syarbini. Mughni al-Muhtaj. Kairo: Musthafa Halabi.


[1] Muhammad al-Khathib, al-Iqna’, (Bairut: Darul Ma’rifah), hal. 26 dan Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’ashir), hal. 7599.
[2] Ahmad Djunaidi, dkk., Fiqih Waqaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Waqaf-Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam-Departemen Agama RI, 2007), hal. 2.
[3] Ibid., hal. 11-14.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Lebanon: Dar AL-‘Arabi, 1971), hal. 378.
[5] Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Musthafa Halabi), II, hal. 378.