Penyelesaian Sengketa Kontrak (Legal Contract Drafting)

Thursday, March 16, 2017

Penyelesaian Sengketa Kontrak (Legal Contract Drafting)


BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK

A.   Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa kontrak

Pada dasarnya setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik, namun dalam kenyataannya kontrak yang dibuatnya seringkali dilanggar. Persoalannya kini, bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak? Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) melalui pengadilan, dan (2) alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu:
1.    Konsultasi,
2.    Negoisasi,
3.    Mediasi,
4.    Konsiliasi, atau
5.    Penilaian ahli
Di dalam literature juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu the binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative procedure.
1.    The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu:
(1)  Litigasi,
(2)  Arbitrase
(3)  Mediasi arbitrase, dan
(4)  Hakim pertikelir
2.    The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:
(1)  Konsiliasi
(2)  Mediasi
(3)  Mini trial
(4)  Summary jury trial
(5)  Neutral expert fact-finding, dan
(6)  Early expert neutral evaluation (Rudjiono, 1996: 3)

Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Kalau the binding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.
Kesepuluh jenis sengketa tersebut dijelaskan dalam sub-sub bab berikut ini.[1] Secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena hal sebagai berikut:
1.    Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis.
2.    Biaya perkara yang mahal
Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.
3.    Pengadilan pada umumnya tidak responsive
Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum.
4.    Putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah
Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaian masalah bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.
5.    Kemampuan para hakim yang bersifat generalis
Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang karena pengetahuan yang dimiliki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum bahkan awam.

Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah sehingga dalam dunia bisnis pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara ADR tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya. Sementara itu, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari alternatif penyelesaian sengketa karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang akan dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana yang lazim digunakan.[2]

B.   Litigasi

Litigasi merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan.
Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu:
1.      Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial.
2.      Litigasi sagat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi pihak lawan
3.      Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan.
Dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaian sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. Namun litigasi setidak-tidaknya sebagaimana terdapat di Amerika Serikat, memiliki banyak kekurangan (drawbacks) (Garry Goddpaster, dkk, 1995:6). Kekurangan litigasi, yaitu:
1.    Memaksa para pihak pada posisi yang ekstern:
2.    Memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan
3.    Litigasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan seringkali marginal
Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.

C.   Arbitrase

a.      Pengertian Arbitrase
       Di dalam pasa 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 telah dicantumkan pengertian arbitrse. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengkta. Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, mengartikan arbitrase adalah sebagai :
       “Suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka. Dimana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat (dalam M. Husseyn Umar dan A. Suiani Kardono, tt: 2).
       Para pihak yang berselisih, baik atas kehendak mereka senidir atau atas anjuran pegawai Depnaker/P4D yang memberikan perantaraan, dapat menyerahkan penyelesaian mereka pada seorang juru pemisah (Arbiter) atau suatu dewan pemisah (Majelis Arbitrase). Penyerahan tersebut harus dibuat secara tertulis dalam bentuk perjanjian kedua belah pihak dihadapan pegawai Depnaker/P4D.[3]
       Unsur-unsur arbitrase yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu:
1.    Penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
2.    Berdasarkan perjanjian arbitrase
3.    Bentuk perjanjian tertulis, dan
4.    Disepakati para pihak
Perjanjian arbitrase dibuat pada sebelum dan sesudah timbulnya sengketa. Proses yang mudah atau simpel adalah suatu proses yang tidak memerlukan prosedur dan syarat-syarat yang berbelit-belit dan panjang, sebagaimana yang terjadi dalam perkara litigasi.
b.    Dasar Hukum
Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. RV atau Burgerlijke Reglement op de Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu. Ketentuan tentang arbitrase di dalam RV diatur dalam pasal 615 sampai dengan pasal 651 RV.
Ada tiga pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:
1)      Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata, di samping dapat diajukan ke pengadilan umum juga terbuka kemungkinan melalui arbitrase penyelesaian sengketa;
2)      Bahwa peraturan perunang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan  hukum pada umumnya;
3)      Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
c.    Jenis-jenis lembaga arbitrase
Lembaga arbitrase dibagi dua macam, yaitu (1) arbitrase ad hoc dan (2) arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc atau valunter adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan (M Yahya Harahap. 1991: 150). Sedangkan arbitrase institusional (institusional arbitration) adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York, 1958). Arbitrase institusional dibagi menjadi dua sifat, yaitu nasional dan internasional (Pasal 59 dan 65 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999).
d.     Alasan Memilih Arbitrase
Di dalam laporan Seminar Nasional Mengenai Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dicantumkan tiga alasan pemilihan institusi arbitrase, yaitu sebagai berikut:
1)    Penyelesaian cepat
Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa.
2)    Terjaga kerahasiannya (confidential)
Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup (Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1991) dan tidak ada publikasi.
3)    Biaya lebih rendah
Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: (1) honorarium, (2) biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa, dan (3) biaya administrasi (Pasal 76 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999). Jasa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, karena prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan dapat dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri.
Putusan arbitrase mudah dilaksanakan, dibandingkan dengan putusan pengadilan. Hal ini disebabkan putusan arbitrase pada umumnya bersifat final dan tidak dapat diajukan banding, kecuali atas dasar hal-hal yang sangat khusus.
4)    Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
Pada dasarnya tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase adalah
a.    Sengketa di bidang perdagangan, dan
b.    Mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa

Sengketa uang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5 undang-undang Nomor 30 tahun 1999).
5)    Bentuk klausula perjanjian arbitrase
Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 11 undang-undang nomor 30 tahun 1999. Di dalam ketentuan itu, klausula perjanjian arbitrase dibagi dua maca, yaitu:
a.    Pactum de compromittendo
Yang dimaksud dengan pactum de compromittendo adalah perjanjianj arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Pactum de compromittendo ini biasa juga dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (pasal 7 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999).
b.    Akta kompromis
Yang dimaksud dengan akta kompromis adalah suatu akta yang berisi perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa.
6)    Prosedur penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase
Prinsip-prinsip atau asas-asas dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebagai berikut:
a.    Semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup
b.    Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan
c.    Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing
d.    Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan suratkuasa khusus
e.    Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Syaratnya (1) terdapat unsur kepentingan yang terkait, (2) keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan (3) disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase.
f.     Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Denganj syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis.
g.    Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
h.    Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil keputusan provional atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang rusak.
i.      Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak. Setelah menerima permohonan tersebut, langkah-langkah yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai berikut:
-          Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbiter.
-          Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tersebut oleh termohon.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu itu dapat diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlukan. Supaya dapat mengambil keputusan dengan adil dan patut maka arbiter atau majelis arbitrase, mempunyai kewenangan untuk:
a.    Menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak
b.    Mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada empat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan
c.    Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase
d.    Mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan.
Keempat kewenangan harus dapat dijalankan dengan baik oleh para arbiter atau majelis arbitrase.
7)    Pendapat dan putusan arbitrase
Selain kewenangan untuk menyelesaikan sengketa arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dari suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apa pun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus dituangkan dalam putusan arbitrase.
Apabila putusan arbitrase tidak ditandatangani oleh seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan. Para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrative dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
8)    Pembatalan putusan arbitrase
Pada dasarnya putusan arbitrase dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase yang dapat dimintakan pembatalan, apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.    Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b.    Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
c.    Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Pengadilan Negeri.
9)    Berakhirnya tugas arbiter
Berakhirnya tugas arbiter diatur dalam pasal 73 sampai dengan pasal 74 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999. Tugas arbiter berakhir karena:
a.    Putusan mengenai sengketa telah diambil,
b.    Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh pihak telah lampau, atau
c.    Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter
Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir

D.   Mediasi-Arbitrase (Med-ARB)

Salah satu variasi dari mediasi adalah suatu prosedur di mana sengketa pertama kali diselesaikan dengan mediasi dan berikutnya bilamana perlu terhadap isi isu yang tidak terselesaikan dilakukan melalui arbitrase. Bila mediasi gagal menyelesaikan sengketa itu, mediator akan memberi saran kepada para pihak hasil apa yang kira-kira akan diperoleh bila kasus tersebut diselesaikan melalui arbitrase, tetapi mediator tidak diperkenankan menjadi arbiter dalam sengketa tersebut. Para pihak sebelumnya harus telah menyetujui bahwa bila mereka tidak dapat menyelesaikan sengketa mereka melalui mediasi, mereka akan menyerahkan sengketanya kepada orang lain atau suatu panel untuk suatu arbitrase yang mengikat.


E.   Konsiliasi

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, dan The International Chamber of Commerce (ICC).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi. Konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah:
“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan / menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat” (dalam Huala Adolf dan A. Chanderawulan, 1995: 186).
Konsiliasi diletakkan dalam suatu konseksitas dengan mediasi dan arbitrase (mediasi-konsiliasi-arbitrase). Proses penyelesaiannya dilakukan secara berhatap, derajat permusuhan yang dapat terjadi sebagai hasil dari litigasi.

F.    Mediasi

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam prose satu pihak ketiga bertindak sebagai penasihat.
Mediasi merupakan Suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan procedural dan substansial.[4] Apabila diperhatikan kedua definisi di atas, ada lima unsur yang tercantum dalam pengertian mediasi, yaitu:
5.      Proses negoisasi
6.      Metode penyelesaian masalah
7.      Dilakukan secara sukarela
8.      Dilakukan secara netral
9.      Rahasia
10.  Kooperatif
11.  Tidak ada unsur paksaan, dan
12.  Mencapai consensus

Pada dasarnya tujuan mediasi adalah untuk consensus para pihak tentang konflik yang timbul diantara para pihak.
Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk:
a.    Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan
b.    Melenyapkan kesalahpahaman
c.    Menentukan kepentingan yang pokok
d.    Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan, dan
e.    Menyatujuan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak (Rudhiono, 1996).
Dari berbagai manfaat yang dipaparkan di atas maka manfaat yang paling esensi dari mediasi adalah murah, cepat, dan komunikasi di antara p;ara pihak. Karena mediasi ini difokuskan untuk menyelesaikan persoalan secara damai.

G.   Mini-Trial

Persidangan/pemeriksaan mini merupakan suatu negoisasi terstruktur yang biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat. Hal ini dilakukan dihadapan suatu panel yang terdiri dari para pihak dan kadang-kdang seorang penasihat netral yang melaksanakan berbagai fungsi. Setelah persidangan mini, para wakil pihak-pihak dapat bertanya kepada penasihat netral mengenai suatu pendapat seperti pada hasil persidangan pada umumnya. Bilamana kasus tidak terselesaikan, para pihak bebas untuk memulai lagi dengan proses penyelesaian sengketa yang lain, termasuk litigiasi. Biasanya disepakati bahwa keseluruhan proses akan dilakukan secara konfidensial.

H.   Summary Jury Trial

Summary juri trial adalah suatu persidangan jury secara summir yang terdiri dari presentasi singkat para pengacara tentang suatu kasus perdata. Hal itu dilakukan kepada para juri (dipilih dengan menggunakan cara yang sama sebagaimana diperlukan dalam persidangan formal), yang dimohon untuk memberikan keputusan yang tidak mengkat (advisory). Ini merupakan kombinasi dari argumentasi pembukaan dan penutupan dengan suatu ulasan tentang pembuktian persidangan yang diharapkan.
Prosedur ini yang secara khas berlangsung satu hari, dirancang untuk persidangan perkara perdata ang kompleks yang dapat berlangsung selama seminggu bahkan sebulan. Wakil para pihak dengan kewenangan untuk menyelesaikan kasus biasanya diminta untuk menghadiri persidangan itu. Setelah putusan yang tidak mengikat itu dinyatakan, para pihak dan penasihat diberikan kesempatan untuk menanyai juri mengenal keputusan mereka. Negoisasi-negoisasi penyelesaian diharapkan berlangsung setelah itu.

I.     Neutral Expert Fact-Finding

Neutral expert fact-finding adalah penunjukkan seorang ahli yang netral oleh para pihak untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat. Penunjukkan ini dilakukan sebelum memulai litigasi.
Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral yang ditunjuk oleh pengadilan ataupun oleh pihak-pihak dapat mengarahkan para pihak untuk melakukan reevaluasi estimasi apa kiranya yang akan mereka peroleh dan dalam menjemabatani / memperpendek perbedaan-perbedaan di antara mereka.

J.    Early Neutral Evaluation

Program ini bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya serta hambatan-hambatan dalam melakukan proses litigasi. Di dalam program ini, seorang praktisi hukum yang handal, netral, berpengalaman, membantu para pihak dan penasihat, sebelum pemeriksaan pendahuluan, menganalisis isu-isu kritis yang dipertengkarkan, kebutuhan mereka dalam pemeriksaan pendahuluan, kekuatan dan kelemahan relatif mereka, nilai keseluruhan dari kasus tersebut. Sang penilai secara jujur memberikan penilaian terhadap hal-hal itu dan membantu pihak yang bersengketa menyusun sendiri suatu rencana untuk berbagai informasi dan atau memimpin pemeriksaan pendahuluan yang bertujuan m



[1] Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 140-141
[2] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 111-113
[3] Gunawan Widjaja, Alternative Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 47.
[4] Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 12-13.

1 comment :