2017

Wednesday, March 29, 2017

Contoh Surat Gugatan Pengadilan Agama


CONTOH SURAT GUGATAN IJARAH MULTIJASA
DI PENGADILAN AGAMA

Kepada Yth :
Ketua Pengadilan Agama Blitar
Di Blitar

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini nama, M. Khoirul Roziqin, Direktur Utama Bank Muammalat beralamat Jalan Masjid No.30 Blitar memberikan kuasa kepada Dr. Nur Habib Fauzi, M.H. , Advokat, beralamat di Jalan Supriyadi No. 8 Blitar berdasarkan surat kuasa tanggal 3 Oktober 2016 hendak menandatangani dan mengajukan surat gugatan, selanjutnya disebut sebagai penggugat.

Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap :
I.       Nama            : M. Saiful Kamal
Pekerjaan    : Pemilik CV. Hijabers Group.
Alamat         : Jalan Supriyadi No.4 Blitar

II.      Nama           : Nophiana Niswaturohman
Pekerjaan    : Pemilik CV. Hijabers Group.
Alamat         : Jalan Supriyadi No.4 Blitar

Selanjutnya akan disebut dengan tergugat I dan tergugat II atau disebut sebagai para tergugat, keduanya adalah suami isteri.

Adapun mengenai duduk persoalannya adalah sebagaimana berikut :
1. Bahwa berdasarkan Akad Pembiayaan Ijarah Multi Jasa Nomor: 01 tanggal 13 September 2011. Tergugat I dan Tergugat II sebagai pemilik CV, telah menerima Pembiayaan dari Penggugat sebesar Rp. 250.200.000,- (dua ratus lima puluh juta dua ratus ribu rupiah) dan Ujrah sebesar Rp. 180.000.000,- (seratus delapan puluh jura rupiah).
2.   Bahwa jangka waktu pembiayaan tersebut adalah selama 60 (enam puluh) bulan yaitu sejak tanggal 13 September 2011 sampai dengan tanggal 13 September 2016. Dengan rincian perbulan hutang pokok sejumlah Rp. 4.170.000,00- (empat juta seratus tujuh puluh ribu rupiah), dan Ujrah sejumlah Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
3.  Bahwa pembiayaan tersebut oleh Para Tergugat akan digunakan untuk Biaya cetak Tabloid Hijabers Blitar di Restu Advertising selama 12 bulan dimulai pada tanggal 13 Oktober 2011 sampai 13 September 2012, dengan rincian perbulannya sejumlah 100 eksemplar dan biaya produksi adalah Rp.20.000.000,- (dua puluh juta). Sehingga total biaya 12 bulan adalah Rp. 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta).
4.    Bahwa ternyata dalam perjalanannya para tergugat telah menunggak angsuran selama 6 bulan, terhitung mulai bulan oktober 2015 hingga maret 2016, dengan total tunggakan sejumlah Rp.43.020.000,-.(empat puluh tiga juta dua puluh ribu rupiah), kemudian penggugat melayangkan tiga kali Surat Peringatan dengan rincian surat peringatan pertama tertanggal  15 April 2016 dan telah diterima oleh para Tergugat. Kemudian Surat Peringatan kedua tertanggal 15 Mei 2016 dan telah diterima oleh para Tergugat. Selanjutnya Surat Peringatan ketiga tertanggal 15 Juni 2016 dan telah diterima oleh para Tergugat.
5.   Bahwa Penggugat sebenarnya telah memberikan kesempatan lagi kepada Para Tergugat selama 15 hari setelah Surat Peringatan ketiga dilayangkan namun sampai gugatan ini diajukan Tergugat tidak dapat menyelesaikan kewajibannya kepada penggugat.
6.    Bahwa atas kelalaian dan pelanggaran Para Tergugat tersebut, maka Penggugat berhak untuk menuntut dan menagih pembayaran atas sejumlah modal yang masih menjadi  tanggungan Para Tergugat yaitu selama 12 bulan dengan nominal Rp. 86.040.000,- (delapan puluh enam juta empat puluh ribu rupiah), dengan rincian hutang pokok sebesar Rp. 50.040.000,- (lima puluh juta emapt puluh ribu rupiah), dan ujrah sebesar Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
7.    Bahwa berdasarkan apa yang termuat dalam posita 5, maka Para Tergugat telah dianggap melakukan perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi yang sangat merugikan Penggugat.
8.    Bahwa akibat perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi tersebut Penggugat merasa dirugikan secara materiil yaitu sesuai dengan akad Pembiayaan Ijarah Multi Jasa Nomor : 01 tanggal 13 September 2011, yang jumlahnya per tanggal 13 September 2016 adalah Rp. 86.040.000,- (delapan puluh enam juta empat puluh ribu rupiah) dengan rincian sesuai posita nomor 6.
9.    Bahwa untuk menjamin gugatannya, penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Blitar berkenan kiranya meletakan Sita Jaminan atas barang-barang  milik Para Tergugat yang dalam hal ini barang tetap milik Tergugat yang telah diikat Hak Tanggungan Nomor: 02754/2011 yaitu sebagaimana berikut :
§  Tanah pekarangan berikut bangunan diatas Sertifikat Hak Milik Nomor : 00907, Luas 53 M2, terletak di Jalan MT. Haryono, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, sebagaimana diuraikan dalam surat ukur No. 00014/blt/2010. Tertanggal 22 Desember 2010, No Identifikasi Bidang Tanah (NIB): 11.29.06.14.00640 terletak di Jalan MT. Haryono Kabupaten Blitar, tertulis atas nama TERGUGAT I dengan batas utara rumah warga, batas timur ladang, batas selatan jalan, batas barat rumah warga. Dengan taksiran harga keseluruhan Rp. 500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah).
10. Bahwa Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, Peringatan / Somasi maupun pendekatan secara kekeluargaan kepada Para Tergugat akan tetapi Para Tergugat tetap tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya, oleh karenanya Penggugat mengajukan Gugatan Sengketa Ekonomi Syariah kepada Ketua Pengadilan Agama Blitar hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Amandemen Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama jo. Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Maka berdasarkan segala apa yang terurai di atas maka Penggugat, mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Blitar berkenan untuk menetapkan sebagai berikut :
Primair :
1.    Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
2.    Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas barang tetap milik Para Tergugat yang diletakkan oleh Pengadilan Agama Blitar yaitu Tanah pekarangan beserta bangunan diatas Sertifikat Hak Milik Nomor : 00907, Luas 53 M2 dengan taksiran harga sejumlah Rp. 500.000.000,00- sesuai dengan yang disebut pada posita nomor 9.
3.    Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji / ingkar janji terhadap Akad Pembiayaan Ijarah Multi Jasa Nomor : 01 tanggal 13 September 2011 yang sangat merugikan Penggugat, yaitu berupa kerugian materiil sebesar Rp. 86.040.000,- (delapan puluh enam juta empat puluh ribu rupiah)
4.    Menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian imateriil sebesar Rp. 272.460.000,00- (dua ratus tujuh puluh dua juta empat ratus enam puluh ribu). kepada Penggugat langsung setelah keputusan mepunyai kekuatan hukum tetap.
5.    Apabila para tergugat tidak mampu melunasi pembayaran hutang secara tunai maka jaminan yang telah disertakan akan dilelang.
6.    Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.

Subsidair: Mohon putusan yang seadil-adilnya menurut majelis hakim yang menangani perkara ini.

Demikian gugatan kami, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.


Blitar, 13 Oktober 2016
Kuasa Hukum




Dr. NUR HABIB FAUZI, M.H.

Thursday, March 16, 2017

Penatagunaan Tanah Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960


 PENATAGUNAAN TANAH 
BERDASARKAN UU POKOK AGRARIA

A.    Pengaturan Penatagunaan Tanah
1.      Peraturan Perundangan-undangan yang Mengatur Penatagunaan Tanah
Penataagunaan tanah sebagai bagian dari Hukum Agraria Nasional mempunyai landasan hukum yang bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini mengandung tiga prinsip, yaitu:
1.    Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
2.    Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3.    Hubungan antara negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai.[1]
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa:[2]
1.    Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.    Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Wewenang negara atas bumi, air, dan ruang angkasa yang disebutkan dalam UUPA yang berkaitan dengan penatagunaan tanah adalah Pasal 2 ayat (2), yaitu mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 14 UUPA, yaitu:[3]
1.    Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemeritah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
a.    Untuk keperluan Negara;
b.    Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.    Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.    Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e.    Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 14 UUPA menetapkan agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk:
1.    Kepentingan yang bersifat politis
2.    Kepentingan yang bersifat ekonomis
3.    Kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan

Dalam rangka pemeliharaan tanah, ditetapkanlah ketentuan Pasal 15 UUPA, yaitu: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memerhatikan pihak yang ekonomis lemah.” Pasal 15 UUPA menetapkan kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan tanah baik instansi Pmerintah, perusahaan, maupun masyarakat pada umumnya untuk mencegah kerusakan tanahnya, sedangkan kepada pihak-pihak yang menggunakan tanah untuk usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan harus dicegah kerusakan tanahnya dan menambah kesuburan tanahnya.
Pada tahun 1992 diundangkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan ruang, LNRI Tahun 1992 No. 115 - TLNRI No. 3501. Dalam undang-undang ini diatur penatagunaan tanah, yaitu dalam Pasal 14 dan Pasal 16-nya, yaitu:
Pasal 14 Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, yaitu:
1.    Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan: a). Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; b). Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.
2.    Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.
3.    Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan keamanan sebagai subsistem perencanaan tata ruang, tata cara penyusunannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16 Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, yaitu:
1.    Dalam pemanfaatan tata ruang dikembangkan: a). Pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara. dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b). Perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati penduduk sebagai warga negara.
2.    Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sebagaimana diatur dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.   Pengertian Penatagunaan Tanah
Menurut R. Soeprapto, tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam hukum positif, pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dimuat dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu penatagunaan tanah sama halnya dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.[4]

3.   Prinsip dan Dasar Penatagunaan Tanah
Sudikono Mertokusumo menyatakan bahwa penatagunaan tanah mempunyai tiga prinsip, yaitu:[5]
1.    Prinsip penggunaan aneka (principle multiple use). Prinsip ini menghendaki agar penatagunaan tanah harus dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu. Prinsip ini mempunyai peranan penting untuk mengatasi keterbatasan areal, terutama di wilayah yang jumlah penduduknya sudah sangat padat.
2.    Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production). Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang tanah diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak. Yang dimaksud hasil fisik adalah sesuatu yang dihasilkan dari tanah misalnya sawah menghasilkan padi atau bahan pangan lainnya.
3.    Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use). Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang tanah memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.
Nad Darga Talkurputra menyatakan bahwa ada sepuluh dasar penatagunaan tanah, yang di dalamnya memuat pengaturan persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, yaitu:[6]
1.    Kewenangan negara
2.    Batas-batas hak dari pemegang hak atas tanah
3.    Fungsi sosial hak atas tanah
4.    Perlindungan ekonomi lemah
5.    Penatagunaan tanah tidak dapat dilepaskan dengan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah
6.    Penatagunaan tanah sebagai komponen pembangunan nasional
7.    Penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang
8.    Penatagunaan tanah merupakan kegiatan yang bersifat koordinatif
9.    Penatagunaan tanah sebagai suatu sistem yang dinamis
10.Penatagunaan tanah merupakan tugas Pemerintah Pusat

4.    Penatagunaan Tanah di Perkotaan dan Pedesaan
Pada kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan mempunyai perbedaan dalam penggunaan tanah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor , yaitu:[7]
a.    Titik berat penggunaan tanah
b.    Ciri-ciri kehidupan masyarakat
c.    Jumlah penduduk dan penyebarannya
Berdasarkan kegiatan dan penggunaan tanahnya, penatagunaan tanah dibagi menjadi dua, yaitu:[8]
1.    Penataan Tanah di Perkotaan
Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penggunaan tanah di kawasan perkotaan adalah:
a.    Pada umumnya digunakan untuk suatu kegiatan yang memerlukan tanah (tempat/ruang) relatif tidak luas dan biasanya diukur dengan ukuran meter persegi, misalnya untuk kegiatan perumahan, perkantoran, perhotelan, pertokoan, perdagangan, pabrik/industri, pendidikan, peribadatan, fasilitas umum/sosial.
b.    Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan adalah aktivitas hidupnya non-pertanian dan jasa-jasa tertentu.
c.    Jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan adalah sangat besar, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas jumlah dan luasnya.
Sebagaiman ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, yaitu tujuan suatu perencanaan kota adalah supaya kehidupan dan penghidupan warga kota yang aman, tertib, lancar, dan sehat (ATLAS).
2. Penatagunaan Tanah di Pedesaan
Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan pedesaan, adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penggunaan tanah di kawasan pedesaan adalah:
a.    Pada umumnya digunakan untuk suatu kegiatan yang memerlukan tanah (tempat/ruang) yang luas, misalnya untuk kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
b.    Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pedesaan adalah aktivitas hidupnya bertumpu pada sektor pertanian.
c.    Jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan adalah sedikit, sedangkan tanah yang tersedia masih cukup luas.
Dalam peraturan perundang-undangan, penatagunaan tanah di pedesaan berasaskan lestari, optimal, serasi, dan seimbang (LOSS) disebutkan dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

B.     Penatagunaan menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004
1.      Ketentuan Umum Penatagunaan Tanah
Ketentuan yang mengatur tentang penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu:
1.    Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.
2.    Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan rencana penatagunaan tanah, neraca penatagunaan air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain.
3.    Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.
4.    Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penatagunaan tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1.    Penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
2.    Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antar orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3.    Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi, baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
4.    Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
5.    Hak atas tanah adalah hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
6.    Rencana Tata Ruang Wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.

2.      Asas dan Tujuan Penatagunaan Tanah
Azas penatagunaan tanah ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1.    Asas keterpaduan, maksudnya adalah penatagunaan tanah dilakukan untuk mengharmoniskan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
2.    Asas berdaya guna dan berhasil guna, maksudnya adalah penatagunaan tanah harus dapat mewujudkan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang.
3.    Asas serasi, selaras, dan seimbang, penatagunaan tanah menjamin terwujudnya antara hak dan kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya, sehingga meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan tanah.
4.    Asas berkelanjutan, maksudnya yaitu penatagunaan tanah menjamin kelestarian fungsi tanah demi memerhatikan kepentingan antar generasi.
5.    Asas keterbukaan, keadilan, dan perlindungan hukum, yaitu penyelenggaraan tata guna tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar pemilik tanah, sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah.

3.      Tujuan Penatagunaan Tanah
Tujuan penataan tanah ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1.    Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
2.    Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
3.    Mewujudkan tata tertib pertahanan yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah.
4.    Menjamin kepastian hukum untuk mengusai, menggunakan, dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.

4.      Pokok-pokok Penatagunaan Tanah
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menetapkan bahwa dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Salah satu penatagunaan adalah penatagunaan tanah.
Penatagunaan tanah merupakan kegiatan dibidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budi daya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Yang termasuk kawasan lindung adalah:
1.    Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air.
2.    Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, dan kawasan sekitar pantai.
3.    Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka alam, kawasan suakan alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan baku, taman nasional, taman hutan rakyat, taman wisata alam, cagar alam, suaka marga satwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
4.    Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, rawan tanah longsor, rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir.
5.    Kawasan lindung lainnya, misalnya taman baru, cagar biosfir, perlindungan plasma nutfah, dan terumbu karang.
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawsan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, perikanan, pertambangan, pemukiman, industri, kawasan tempat ibadah, kawasan tempat pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.
Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. RTRW ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. RTRW menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang di daerah tersebut, dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi penghargaan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.
Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Jangka waktu RTRW sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 dan Pasal 28 UU No. 26 Tahun 2007 adalah 20 (dua puluh) tahun. Penatagunaan dilakukan secara bertahap melalui penetapan penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang akan dilakukan oleh Pemerintah, instansi yang membidangi Pertanahan di Kabupaten Kota, dan masyarakat secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan rencana waktu RTRW yang telah ditetapkan.[9]
Penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan budi daya dilaksanakan melalui:
1.    Kebijakan penatagunaan tanah, meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagai pedoman umum penatagunaan tanah di daerah.
2.    Penyelenggaraan penatagunaan tanah, meliputi:
a. Penetapan rencana kegiatan penatagunaan tanah.
b. Pelaksanaan kegiatan penatagunaan tanah.


5.      Kebijakan Penatagunaan Tanah
Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menetapkan bahwa kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap:
1.    Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, baik yang sudah atau belum didaftar. Bidang tanah yang sudah ada haknya dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Sewa Untuk Bangunan. Tanah yang sudah terdaftar adalah tanah yang sudah didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang telah diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya, sedangkan tanah yang belum didaftar adalah tanah yang belum didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sehingga belum diterbitkan sertifikat.
2.    Tanah negara, yaitu tanah yang belum ada haknya atau belum dibebani dengan hak atas tanah tertentu.
3.    Tanah ulayat, yaitu tanah yang dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.      Penyelenggaraan Penatagunaan Tanah
Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menetapkan bahwa penyelenggaraan penatagunaan tanah dilakukan terhadap:
1.    Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, baik yang sudah atau belum didaftar.
2.    Tanah negara.
3.    Tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menyelenggarakan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan yang meliputi:
a.    Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
b.    Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan.
c.    Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

7.      Pembinaan dan Pengendalian Penyelenggaraan Penataan Ruang
Ketentuan-ketentuan mengenai pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 25 hingga Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, yaitu:
1.        Dalam rangka pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah, Pemerintah melaksanakan pemantauan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
2.        Pemantauan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah diselenggarakan melalui pengelolaan sistem informasi geografis penatagunaan tanah.
3.        Pembinaan atas penyelenggaraan penatagunaan tanah dilakukan oleh Pemerintah.
4.        Pembinaan atas penyelenggaraan penatagunaan tanah meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan arahan.
5.        Pedoman, bimbingan, pelatihan, dan arahan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
6.        Pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah meliputi pengawasan dan penertiban.
7.        Pengawasan terhadap pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan cara supervisi dan pelaporan.
8.        Supervisi dan pelaporan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
9.        Penertiban terhadap pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10.    Penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan administratif agar penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Tindakan administratif diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi administrasi.
11.    Pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah terhadap pemegang hak atas tanah diselenggarakan pula dengan pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
12.    Perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang sesuai dengan tujuan penatagunaan tanah.
13.    Perangkat disintensif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan penatagunaan tanah, misalnya dalam bentuk peninjauan kembali hak atas tanah, dan pengenaan pajak yang tinggi. Peninjauan kembali hak atas tanah tersebut didasarkan pada ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Disinsentif dikenakan kepada pemegang hak atas tanah yang belum melaksanakan penyesuaian penggunaan tanahnya.

C.    STUDI KASUS
Contoh kasus yang disebabkan dari carut-marutnya hukum pertanahan di indonesia:
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT. Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga yang sekarang tinggal di meruya dan sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik. Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi.
Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, dimana warga meruya sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa. Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996). Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah meruya tersebut.
Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah. Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahannya sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.

Penyelesaian kasus sengketa tanah meruya:
Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya. Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PT. PortaNigra.



[1] Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana.2012. hlm. 239
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 240
[4] Ibid., hlm. 246
[5] Ibid., hlm. 247
[6] Ibid., hlm. 248
[7] Ibid., hlm. 253
[8] Ibid., 254
[9] Ibid., hlm 266